Minggu, 23 September 2012

I love love it

Aku selalu suka menunda pekerjaan. Bagiku, pekerjaan yang kutunda akan jauh lebih baik hasilnya. Oke, ini teoriku. Silakan jika tidak setuju. Aku juga suka berdiam diri, menghabiskan sekitar 10 menit waktuku di kamar mandi, di bawah shower, tanpa melakukan apapun. Aku suka traveling. Aku suka mengumpulkan sepertiga uang bulananku untuk sekedar menikmati bawah laut Karimun Jawa, meresapi eksotisnya Bali, menantang adrenaline dengan body rafting di Green Canyon, atau merelakan tabunganku habis di Gili Trawangan yang terkenal mahalnya.

Aku suka makan. Ketika banyak orang menjadikan makan sebagai kebutuhan, bagiku makan adalah kesukaan. Berkeliling kota, mencari makan yang baru, dengan asumsi puas atau kecewa. Aku juga suka berbicara. Ini alasanku mengambil konsentrasi Public Relations di jurusan komunikasi. Karena suka berbicara, aku suka bercerita. Menceritakan banyak hal yang kualami, bagiku sebuah tantangan. Tantangan membuat lawan bicaraku mengerti apa yang aku bicaran. It's exactly not as easy as that.

Aku suka berusaha, kemudian membiarkan Allah bekerja memutuskan takdir untukku. Aku juga suka berdiam diri di kasurku, merenungkan entah apa yang ada di pikiranku. Terkadang aku suka keramaian, tapi terkadang aku suka kesunyian. Bagiku, keduanya harus disukai demi keseimbangan hidup. Aku suka orang humoris. Selama hidupku, hanya ada beberapa orang saja yang bisa membuatku tertawa dan tidak terpaku diam ketika aku berdua dengannya.

Aku suka kinerja takdir mempersatukan aku dengan keluarga dan teman-temanku. Aku tidak tau apa rumusan Allah memasukkanku nama-nama orang hebat dalam daftar sahabat terdekatku. Entah apa yang membuat Allah begitu baik, bahkan terkadang terlalu baik dalam memberikan orang-orang yang pantas di hidupku dan membuang orang-orang yang tidak aku butuhkan. Aku tidak tahu dan tidak pernah ingin tau. Yang aku ingin, aku bersama selamanya dengan mereka yang tidak selalu mendukung keputusanku yang terkadang salah.

Begitu banyak hal yang aku sukai. Tapi ada satu yang tidak aku suka. Kamu. Iya kamu. Kamu yang menganggap cinta bisa dipermainkan, diputar, dibuang, kemudian dipungut kembali. Kalau suatu saat aku menemukan yang jauh lebih baik darimu, jangan sedih ya :)

Rabu, 19 September 2012

Am I Good Enough?

Rabu, 19 September, 2012. Ruang BA 101 Fisip

Tepat jam 7, mata kuliah sistem komunikasi. Ini bukan pertama kalinya nama gue ada di kelas itu. Tahun lalu, semester 3, gue pernah ikut kelas ini. Sayangnya, nilai gue nggak mencukupi dan mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib. Jadi, mau nggak mau gue harus ngulang. Pagi ini, kelas sepi, padahal udah jam 7 lewat. Dosen mata kuliah ini dikenal strict dan selalu tepat waktu. Waktu gue dateng, di kelas cuma ada sekitar 10-an orang. Tahun 2012, mata kuliah ini dimasukkan ke dalam mata kuliah pilihan, jadi cuma ada beberapa anak komunikasi angkatan 2011. Sedangkan dari angkatan gue, 2010, adalah yang ngulang. Sisanya dari angkatan 2009, 2008, dan anak-anak lintas jurusan.

Sampai dosen dateng, kelas cuma 20 orang. Hari ini membahas tentang teori sistem Talcott Parsons. Seperti biasa, dosen ini selalu nanya, "Ada yang udah baca?" Sekelas diam. Talcott Parsons dan teori AGIL (Adaptation, Goal attainment. Integration, & Latency) nya tentu bukan hal yang baru bagi gue, karena waktu ngambil matkul ini tahun lalu, ini udah dibahas. Sejujurnya gue bukannya males baca buku matkul ini. Tapi, bukunya berbahasa Inggris tingkat tinggi. Ada juga beberapa bab yang pakai bahasa Indonesia, tapi membingungkan karena di-translate dari bahasa Jerman (kalau nggak salah).

Dari 20 orang, cuma 1 orang yang udah baca dan bisa menjelaskan teori Talcott Parsons tentang fungsional struktural. Sejujurnya gue nggak ngerti, bahkan ketika kita ditanya satu per satu sama mbak dosen. Semua seolah pake common sense karena emang rata-rata pada nggak baca bukunya. Sampai akhirnya, mungkin mbak dosen marah. Wajar kalau beliau kecewa, karena kelas yang efektif adalah kelas yang bisa menciptakan disukusi, dan diskusi akan tercipta apabila mahasiswa telah membaca materi yang akan dibahas.

"Kalian sudah mau masuk semester akhir, seharusnya tidak ada lagi cerita masuk kelas tanpa tahu materi yang akan dibahas". begitulah kira-kira kata mbak dosen lulusan Jerman ini. Kemudian mbak dosen melanjutkan menasehati kami. Yang bikin gue malu, ketika beliau bilang, "Saya percaya kalian semua pintar, the best, sehingga kalian bisa berada di jurusan ini. Bangku yang kalian duduki diperebutkan banyak orang. Tahun ini, sekitar 11.000 orang mendaftar di komunikasi dan hanya sekitar 70 orang yang diterima. Itu berarti hanya 0,00sekian persen." JLEB. Am I good enough? Am I deserve?

Seketika saya benar-benar malu. Saya malu, telah diberikan rahmat oleh Allah untuk bisa menjadi bagian dari jurusan favorit di universitas yang setiap tahunnya menolak puluhan ribu mahasiswa. Saya malu untuk tidak ada rasa ingin tahu di diri saya. Saya malu tidak mengeksplor bakat yang saya miliki. Tiba-tiba saya menyesal, menghabiskan 4 semester kemaren untuk banyak bersenang-senang. Saat itu I lost my concentration. Yang ada, saya cuma bisa menyesal. Menyesal tidak mem-push limit yang saya punya. Menyesal datang ke kampus sering terlambat. Menyesal melewatkan waktu luang saya hanya untuk bersenang-senang karena saya merasa pembelajaran di kampus sudah cukup. Hey, am I good enough here?

Tiba-tiba saya merasa sangat berterima kasih kepada dosen saya. Terima kasih telah menyadarkan saya meski sudah di tengah jalan. Saya hanya percaya, tidak ada sesuatu yang terlambat. Masih ada 2 semester, KKN, dan skripsi. For sure, I'll do my best. Bukan untuk menunjukkan siapa saya, saya hanya ingin menunjukkan rasa syukur saya kepada Allah telah menempatkan saya di lingkungan sebaik ini. Semoga orang-orang benar, masa depan saya cerah :)