Minggu, 11 Agustus 2013

Selamat Jalan.

Selasa, 6 Agustus 2013.
Semua terjadi seperti biasa. Aku masih berada di lokasi KKN. Pagi ini, programnya adalah pemasangan reflektor di sepanjang jalan lokasi KKN kami, karena memang merupakan jalur yang dilintasi para pemudik. Pagi hari, bersama para anggota lelaki, kami mengais bambu sebagai cagrakan untuk reflektor. Pengalaman unik menurutku, bergumul dengan nyamuk kebun, memotong bambu, dan sukses gatal-gatal seharian. Siang hari, semua telah selesai. Beres mandi dan bersih-bersih, aku tertidur pulas. Jam 4 sore, aku terbangun. Seperti biasa, aku cek handphoneku. Ada 1 mention dari twitter. Ternyata Bayu, sepupuku di Jakarta. Mention itu cukup membuatku tercengang kaget. Selang 2 detik, kuambil blackberryku. Kuhubungi bunda. Menunggu lama, akhirnya diangkat. Dengan suara parau dan menahan nangis, bunda mengatakan jika mbah uti telah berpulang. Dalam hitungan detik, air mataku tumpah. Aku bahkan tidak pernah membayangkan rasanya ditinggal orang yang selama 20 tahun serumah denganku, menemani hidupku, dan selalu setia mendengarkan semua keluh kesahku. Langsung kusambar tasku, detik itu juga aku memutuskan cuti  KKN. 

Singkat kata, aku tiba di Jakarta pukul 01.00 dini hari. Dari tempatku turun bus, ayah kemudian melajukan mobil pada kecepatan cukup tinggi. Aku masih kalut. Jakarta kemudian diguyur hujan sangat deras. Satu jam kemudian, kami tiba di rumah. Di teras, berjejer bangku bekas pelayat. Bendera kuning terpampang di tiang listrik. Bayanganku melayang pada kejadian 3 tahun lalu, ketika mbah kakung harus meninggalkan kami semua. Tanpa pikir panjang, aku keluar dari mobil. Kuterobos genangan air di depan rumah. Memasuki ruang tamu, jenazah mbah uti terbujur kaku berbalut kain. Seketika, kakiku lemas tak berdaya. Aku berlari ke kamar mbah uti, berharap ini hanya mimpi dan mbah uti masih ada di kamar, setia menunggu kepulanganku seperti biasa. Tapi yang kutemukan di kamar hanyalah Bunda yang sedang terisak dengan mata sangat merah. Aku mulai menyadari, mbah uti sudah benar-benar tidak ada.

Setelah berwudhu, kuberanikan diri ke ruang tamu. Mendekat dan menerima kenyataan bahwa Allah telah mengambil bagian terpenting dalam hidupku. Kubuka perlahan penutup wajahnya. Ya, wajah tua yang nampak lelah itu mulai memucat. Wajah yang menjadi saksi kenakalanku pulang tengah malam saat sedang di Jakarta. Wajah yang selalu setia menantiku di ruang tamu itu, tempatnya tergeletak malam ini. Wajah yang setia mendengarkan semua keluhanku tentang dunia perkuliahan yang sulit, kisah cinta yang rumit, serta tempatku mengadu jika dimarahi ayah bunda. Wajah itu, kini kaku bersama seluruh badannya. Mbah Uti, andai Allah memberi kita waktu 5 detik untukku memelukmu erat. Aku menahan tangisku sebisa mungkin, mengingat pesan mbah uti saat 3 tahun yang lalu mbah kakung berpulang, bahwa kita harus ikhlas menerima kenyataan. Saat itu, aku berdiri sendiri di depan jasadmu, berusaha menguatkan diriku sendiri. 

Ingatanku kemudian melayang pada tanggal 2 Juli, saat aku tiba di lokasi KKN. Saat itu Mbah Uti hadir dan terlihat sehat. Obrolan kami singkat, karena aku disibukkan dengan bongkar barang dan persiapan awal. Ketika hendak kembali ke Jakarta, aku masih merasakan pelukan hangat. Sungguh tidak ada firasat itu adalah pelukan terakhir. Seketika aku menyesali suatu keadaan dimana aku harus mengabdikan diri ke masyarakat dan kehilangan kesempatan mengabdikan diri kepada wanita yang telah 20 tahun merawatku, mendidikku, membimbingku dan memberikanku kasih sayang. Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya cucu diantara 16 cucu lainnya yang sama sekali tidak hadir menjenguk saat mbah uti di opname. Aku membayangkan betapa durhakanya aku. Mbah Uti selalu hadir di setiap masa sulitku, dan bahkan hingga beliau menemui ajalnya, aku tidak pernah sekalipun datang ke rumah sakit. 

Seketika aku membenci kewajiban KKN. Aku menyesali mengapa harus mengambil periode sekarang. Aku menyesali tidak adanya ucapan selamat tinggal antara aku dan mbah uti. But if it's meant to be, no one can mess it up. Mbah Uti telah menutup ramadhan ini dengan tutup usia. Selamat jalan my the most inspiring woman all over the world. Jasadmu mungkin telah menyatu dengan tanah, namun semua ajaranmu tentang hidup, semua kesabaranmu, semua keindahan tutur & perilakumu, tidak akan pernah kami lupakan. Terima kasih mbah, telah menjadi wanita terhebat di dunia. 

Mbah uti...
Sesekali datang ke mimpi Devita ya mbah. Dunia banyak berubah. Banyak yang mau eneng ceritain mbah. Mbah, kalau di alam sana mbah uti ketemu mbah kakung, sampaikan salam dari kami ya mbah. Selesai KKN, Devita akan pulang ke Jakarta, tidur di kamar mbah, dan bercerita seperti biasa. Oiya mbah, tanaman mbah uti yang di depan rumah sekarang pasti udah tumbuh besar. 2014 Devita wisuda. Kalau mbah uti nggak bisa datang, liat dari atas sana ya mbah. Oiya mbah, waktu Devita pulang dari Bangkok belum sempet cerita-cerita kan sama mbah uti. Nanti Devita bikinin satu cerita, mbah uti baca dari sana ya. I love you, mbah uti. I do love you as much as I can...