Mencintai. Hanya dengan itu aku enjoy dengan rasa sakitku. Aku tidak pernah merasa bodoh, atau merasa bersalah sekalipun. Aku masih berharap, 5 tahun lagi akan ada undangan berwarna orange yang akan aku sebarkan ke sahabat-sahabatku. Di atasnya akan ada untaian pita, dan di tengahnya akan ada nama kita. Kita. Bukan aku dengan dia. Apalagi kamu dengan dia. Hanya akan ada nama kita. Aku dan kamu.
Atau jika ternyata Allah memberimu yang lebih baik, akan ada sebuah undangan manis dengan namamu dan dia. Namaku hanya akan ada di bawah. Aku akan ada di pernikahan itu, sayang. Sebagai tamu undangan, bukan sebagai mempelai. Dan aku akan berlari sebentar ke belakang, menyeka air mataku, kemudian tampil di hadapanmu dengan gaun indah, memasang senyum (pura-pura) bahagia dan berkata, "Turut berbahagia ya, semoga pernikahan ini sakinnah mawaddah warrahmah"
Dan jika itu terjadi, maka akan aku nobatkan diriku sebagai miss-pura-pura. Karena aku telah pura-pura tidak mencintaimu, aku pura-pura bahagia melihat kau dengannya, dan aku pura-pura tidak terluka saat kau bercerita. Haruskah kepura-puraanku berlanjut hingga di hari bahagiamu nanti? Semoga tidak.
Aku tau berhubungan itu membutuhkan dua hati. Dua hati yang siap berbagi, dua hati yang saling mencinta, dan tentu dia hati yang saling terluka. Bukankah itu kunci dari genggaman tangan yang begitu sering aku lihat? Yang begitu sering aku rasakan? Lalu jika hanya ada satu hati yang terlanjur mencinta dan siap terluka, itu apa namanya? Itu aku, sayang. Itulah hatiku :)