Selasa, 10 September 2013

Panawangan, You'll Always Be Our Second Home


Hari ini saya menyadari, Tuhan menciptakan pertemuan indah dan kebersamaan yang menyenangkan hanya untuk perpisahan yang menguras air mata.

Tentu masih lekat di ingatan kita, betapa menyebalkan dan menyenangkannya tebakan kura-kura super cepat, mie baso, dan mbakmi jowo.
Hampir semua dari kita tentu tidak akan melupakan sapaan hangat di sekolah setiap pagi.
Semua dari kita saling melempar jatah rapat di balai desa, memilih berprogram dengan anak kecil yang sangat menyenangkan.
Matahari Panawangan, menjadi saksi bagaimana kita melebur bersama masyarakat,tidak hanya makan dan tidur seperti yang dituduhkan mereka kepada kita.
Masih lekat dalam ingatan kita suara lugu anak-anak yang tanpa lelah datang ke pondokan setiap hari.
Derap langkah ibu-ibu yang dengan tulus mengantarkan makanan pada kita.

Dalam rapat, sebagian dari kita diam.
Memilih mengambil suara terbanyak
Sebagian dari kita, berteriak lantang. 
Di berbagai rapat unit, otot-otot menegang.
Tak sedikit menahan amarah karena keputusan yang diambil dinilai kontroversial.
Beberapa detik setelah itu, kita tetap bisa tertawa bersama.
Hingga akhirnya kita semua paham dan belajar, bahwa tak semua yang kita inginkan bisa tercapai.

Dua bulan terakhir, pagi kita tidak diisi dengan kuliah.
Pagi kita adalah pagi yang cerah. Disapa anak-anak lugu dan polos.
Disambut hangat bapak ibu guru. 
Di pagi dua bulan terakhir, kita menguras otak, melawan dingin, bergumul dengan kabut.
Semua dari kita, setiap pagi, memikirkan bagaimana menyampaikan materi yang telah disiapkan.

Di bulan Ramadhan....
Sahur kita lakukan bersama. 
Dengan wajah lelah dan mata mengantuk.
Berusaha menerima makanan apapun yang kita dapat. Suka atau tidak. Enak atau tidak.
Begitupun dengan berbuka.
Kita duduk melingkar, diselingi canda tawa hangat.

Saat lebaran...
Saat semua insan menyatu dengan keluarga.
Saat jalan raya di lokasi KKN kita dipenuhi plat luar Ciamis.
Saat televisi sibuk meliput arus mudik
Kita berkumpul di suatu rumah setelah melepas tangis.
Menikmati ketupat bersama gulai dan opor.
Tak terlalu tampak berbeda dari biasanya.
Tetap ada tawa hangat disitu.
Karena menurut kita, kita adalah keluarga kedua.

Tentu semua dari kita masih ingat tentang drama yang kita perankan di acara 17 Agustus.
Drama yang kita latih selama seminggu.
Drama sedih, yang justru mengundang tawa dari warga.
Suatu bentuk edukasi kita kepada warga dalam memaknai kemerdekaan.

Terakhir...
Saat detik-detik kepulangan kita.
Kita tentu tidak akan pernah lupa bagaimana isak tangis mengiringi kita
Bagaimana anak-anak memeluk kita dengan erat
Di beberapa hari terakhir, entah berapa orang yang mengatakan, "aa, teteh, jangan pulang ya"
Entah berapa sms yang kita terima, suatu permohonan untuk tetap tinggal.
Minggu itu, di sekolah penuh derai air mata.
Hingga detik kepulangan kita.
Saat bus sudah menanti
Saat pondokan kita dipenuhi warga Panawangan
Ketika kita perlahan memasuki bus, dan isak tangis itu semakin kencang
Doa mereka mengalir, mendoakan kita selamat sampai tujuan
Pelukan ibu-ibu dan bapak-bapak sangat hangat
Hari itu, warga Panawangan menyatakan rasa kehilangannya.

Terlepas dari apa yang kita abdikan selama dua bulan
Memberikan apa yang bisa kita berikan
Melakukan semua yang terbaik
Menjalani sebuah proses hidup menjadi manusia yang lebih bersahaja
Dan proses menemukan keluarga baru
Kita telah menjadi manusia baru dengan kebersahajaan

Terima kasih Panawangan, telah mengajarkan kami bagaimana menantang hidup, meresapi hidup, merasakan dicintai, dihargai, dan dihormati. You'll always be our second home.