Senin, 19 November 2012

(Bukan) Penggila Bola

Call it crazy or not, dulu saya adalah penggemar berat Persija & Timnas. Selain menjadi satu dari sekian juta wanita yang terpesona sama wibawa Bambang Pamungkas, saya juga empat tahun lalu benar-benar menjadi penggila bola. Tiap internetan, yang pertama kali saya buka websitenya Persija. Saya juga rutin ngumpulin foto pemain Persija & Timnas dari media cetak. Dan disadari atau enggak, ini semua yang membuat saya berada di jurusan ini.

Berawal dari saat saya duduk di bangku SMP, pacar saya itu penggemar bola liga Indonesia. Jadilah setiap kita ngedate, semua pembicaraan selalu tentang bola. Nggak jauh-jauh deh dari sundulannya Bambang Pamungkas, gocekannya Elie Aiboy, atau tendangannya Zainal Arief. Di rumah, (alm) kakek saya dari dulu emang penggemar bola. Waktu awal-awal nikah sama nenek saya, almarhum hobinya main bola, dan sepakbola sampai bikin kakinya sedikit tidak sama panjang antara kanan dan kiri. Di masa tuanya, tiap sore almarhum nonton bola. Saya sendiri nggak aware, dan nggak pernah peduli channel apa yang disetel, karena saya bukan penggila televisi.

Sampai saya putus dari pacar zaman SMP saya itu, saya masih belum suka nonton bola. Tapi tiap sore, saya denger almarhum kakek teriak-teriak "GOOOOLLL". Dan seperti ada keseruan sendiri. Akhirnya saya coba nimbrung. Pertama kali saya nimbrung alm nonton bola, adalah pertandingan Timnas vs Bahrain di Piala Asia 2007. Saat itu lini depan Indonesia diisi tiga trisula Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono, dan Elie Aiboy. Kipernya Jendry Pitoy, yang sesekali digantikan Markus Horison atau Ferry Rotinsulu.

Animo masyarakat saat itu sedang gila. Sampai-sampai kalo jalan-jalan di daerah Senayan, kita akan lihat baliho besar ketiga striker Indonesia yang digambarkan dengan ikon pewayangan. Saat Piala Asia bergulir, saya jadi suka bola. Setiap lagu Indonesia Raya dinyanyikan di lapangan, bulu kuduk jadi merinding sendiri. Meski Indonesia gagal melaju ke Semifinal, saya tetep suka sama bola. Selanjutnya saya beralih ke Persija, yang saat itu mengikuti Indonesia Super League. Idola saya? Tetep dooong Bambang Pamungkas :D

Saking gilanya saya sama bola, dan berhubung saat itu usia saya masih ababil, saya sampe sering bela-belain nonton latihan Persija. Pulang sekolah, saya buru-buru ke Ragunan, karena di MES dan lapangan daerah Ragunan itu Persija latihan setiap sore. Saya jelas nggak diizinkan sama orang tua, tapi saya selalu pergi diam-diam, dengan beragam alasan. Misalnya ada tambahan les, ada latihan drama, sampai alasan reunian SD. Dari sekolah saya yang ada di Jakarta Barat, ke Ragunan bisa menempuh waktu 1 jam naik Trans Jakarta. Pulangnya, ke daerah rumah saya di Kemayoran, bisa 2 jam perjalanan karena macet.

Saya ingat, waktu kelas 1 SMA, Timnas sedang Pelatnas di lapangan ABC Senayan. Saat itu, nilai Matematika dan Bahasa Inggris saya 9, jadilah saya minta ke ayah saya buat ngajak saya nonton Pelatnas. Buat saya, ditemenin ayah bunda nonton latihan Timnas itu kado teeerrrinddaahh. Saya duduk di tribun, saat itu saya inget, Isnan Ali lagi cedera. Dia duduk tepat di sebelah saya. Omaigaaaddd, rasanya kayak lagi di alam mimpi. Huahahahahhaha.

Setiap sore, terutama saat Persija tanding, saya dan kakek saya rajin nonton bola. Kami biasanya diskusi, kira-kira siapa pemain yang masuk dalam starting line up, serta diskusi tentang prediksi pertandingan. Lucunya, kalau pertandingan Persija vs Persib. Aroma persaingan terasa banget. Saya dukung Persija, dan ayah saya yang asli Sunda dukung Persib. Bahkan, kami sampai memaksa semua anggota keluarga yang ada di rumah buat milih. Yang dukung Persija nonton di TV lantai bawah, yang dukung Persib nonton di TV lantai atas. Lol! Nenek saya sampai ditegur tetangga. "Mbah uti, kalo mba Dev lagi nonton bola, suaranya kedengeran sampai ke rumah. Mba Dev suka bola ya mbah?" Beda lagi komentar pembantu saya. "Perempuan kok suka bola, malah nggak suka sinetron." Yeeee -_____-

Kelas 2 SMA adalah saat-saat saya dimana sukaaaaa banget sama bola. Saya sampai bikin kliping tentang Persija dan Timnas. Saat ayah saya nanya apa cita-cita saya, saya bilang saya mau jadi komentator dan pengamat sepakbola. Mungkin saat itu menurut ayah, itu jawaban terbodoh yang pernah dia dengar. Btw, saat mau masuk kuliah dan bingung mau jurusan apa, saya pilih komunikasi alasannya karena setau saya, di komunikasi akan dilatih berbicara yang baik di depan publik. Dan menurut saya, itu menjadi modal untuk jadi komentator bola. Hahahahaha!

Saat kakek saya meninggal dan saya melanjurkan study di Jogja, bisa dibilang saya udah nggak terlalu suka bola. Cuma mengamati sekilas aja. Selain sepakbola Indonesia sekarang semakin carut marut, saya juga rada trauma. Setiap nonton bola, bawaannya sedih karena inget almarhum kakek. Apapun itu, setidaknya sepakbola telah pernah ada di hati saya. Membuka jalan menuju cita-cita saya, dan mengajarkan banyak hal. Memberi saat kita memiliki, dan belajar menghargai kemenangan dan menerima kekalahan. Kalau ditanya cita-cita saya sekarang, ya jadi Public Relations dong! Huahahahaha.

Jumat, 16 November 2012

Ikhlas

"Jadi sampai sekarang, lo masih pengen punya wedding organizer?" tanyamu, ratusan malam yang lalu.

"Iyalah, itu kan cita-cita gue dari dulu. Gue selalu suka pernikahan, dimana ratusan orang berbahagia disitu. Lagian kalo gue punya wedding organizer kan, nanti kalo lo nikah bisa gue yang handle." Buatku itu pernyataan bodoh yang melesat gitu aja. Bukan salahnya larut malam yang membuat otak dan mataku terlalu lelah. Tidak, aku bahkan tidak pernah lelah berbincang denganmu meski mungkin di jam itu, sudah banyak orang yang berpindah ke alam mimpi. 'Kalo lo nikah bisa gue yang handle'. Apa ku bilang? Secara tersirat, aku seperti mengikhlaskan kamu menikah dengan orang lain, dan aku bahkan harus menjadi wedding organizer nya.

"Jangan ah, nanti kalo lo yang handle nikahan gue, lo racunin lagi makanannya, karena lo cemburu nikahnya ngga sama lo." Pernyataan yang sungguh kejam menurutku. Empat tahun lebih seharusnya waktu yang cukup bagimu untuk mengenalku dan paham betul bahwa aku bukanlah Mischa di sinetron cinta fitri. Jangankan meracuni makanan di hari paling membahagiakanmu, membuatmu putus dari wanita yang (katanya) kamu cintai sekalipun, tidak pernah ada dalam kamusku.

Itu percakapan ratusan malam yang lalu. Di menit kesekian juta di obrolan panjang kita di telefon. Mencoba berbicara apa yang mungkin tidak bisa kita bicarakan dengan yang lain. Agaknya lebih dari 500 km tidak cukup menghalangi apa yang coba kita bangun. Kita bukannya tidak lelah disaat mereka sedang terlelap, kita hanya berusaha mencari waktu dimana tidak ada satupun yang mendengar percakapan kita. Atau mungkin, kita mencuri waktu disaat wanitamu tidur terlelap setelah menerima ucapan selamat malam yang mesra dari kamu.

Aku hanya tidak tahu, atau kita berdua berpura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Menutupi kecanggungan dengan tawa. Di sela tawa, sesekali kamu meminta waktu sebentar dan terdengar sibuk mengetik pesan. Ya, aku mengerti kalau dia lebih menjadi prioritasmu. Bukannya aku bahkan tidak pernah menuntut apa-apa, status sekalipun? Hingga ketika semua obrolan tawa menjadi terdiam saat kamu banyak berkeluh kesah. Obrolan kemudian menjadi sunyi saat kamu melelang rasa rindu, dan dengan candaan mengasyikkan menyuruhku kembali ke Jakarta.

Dan pada akhirnya, kita tidak pernah tau kemana takdir akan membawa kita. Kata mereka, mungkin kita tidak digariskan menjadi satu. Apapun yang dirumuskan, mungkin pada akhirnya aku akan menjadi wedding organizer dan mengurus semua keperluan pernikahanmu. Mungkin itu akan menjadi pekerjaan paling mengasyikkan dan juga menyakitkan. Mungkin keluargaku dan keluargamu akan heran, dan memaki tingkah bodoh kita berdua. Mungkin aku yang akan men-design undangan cantik bertuliskan namamu dengannya. Tenang sayang, akan kupastikan semua makanan memiliki cita rasa tinggi dan bebas dari racun. Karena sampai detik ini, aku masih berdoa kamu mendapat kebahagiaan. Karena aku ikhlas, ikhlas melakukan apapun agar kamu bahagia dan tidak terbebani dengan hubungan yang tidak seharusnya. Aku ikhlas, sayang. Maka, pergilah dan temukan kebahagiaanmu. Kembalilah 10 tahun lagi, dengan konsep seperti apa pernikahan yang kamu dan dia inginkan, agar aku bisa merancangnya dengan sempurna :)

Surat Cinta Untuk Ayah.

Aku kecil suka sekali dengan weekend. Ketukan pintu di jumat malam, menandakan ayahku kembali dari kota kembang tempatnya bekerja. Dan aku benci hari minggu malam, dimana ia harus kembali ke kota kembang. Hingga menurutku, kebahagiaan terbesarku adalah ketika ia memutuskan tinggal dan bekerja bersama kami. Saat masih berseragam putih merah, aku suka sekali menunjukkan hasil prestasiku. Dan kemudian ayah akan bilang, "Wih, hebat anak ayah."

Ayahku mungkin sama dengan ayah-ayah lainnya di dunia ini. Berusaha mengatakan iya terhadap semua permintaanku, meski mungkin terkadang ia merasa tidak mampu. Memarahiku habis-habisan jika aku pulang setelah maghrib. Menggumam kesal saat aku tak juga bisa nyetir di tanjakan. Sesekali ia memaksaku menjadi dokter, insyinyur, bahkan astronot. Mimpi yang menurutku terlalu tinggi. Tapi itulah ayahku. Ia mengharapkan aku manjadi pribadi yang hebat, seperti ucapan ulang tahunnya saat aku berusia 18 tahun: "SELAMAT ULANG TAHUN ANAKKU SAYANG. HIDUPLAH DI DUNIA, TAKLUKKAN DUNIA, TAPI TAKLUKLAH PADA PENCIPTA DUNIA. MAKA KAMU AKAN MENJADI ORANG NOMER SATU DI DUNIA."

Sesekali, aku marah pada ayah. Mulai ada perasaan benci yang muncul saat kami tidak sepemikiran. Tidak bertegur dalam waktu yang lama. Merasa saling tidak membutuhkan satu sama lain. Gertakannya terkadang ku balas dengan bantingan keras pintu kamarku. Marahnya terkadang kubalas dengan tatapan penuh dendam. Bahkan ketika dia memulai pembicaraan, kuacuhkan dengan keasyikanku terhadap gadget.

Kami bukan pasangan ayah-anak yang harmonis. Kami juga tidak romantis, bahkan untuk sekedar sering ber-sms ketika jarak Jakarta-Jogja memisahkan kami. Tapi aku tidak pernah lupa, bagaimana wajah tegang ayah ketika menungguku tes wawancara UGM bersama ratusan orang tua lainnya. Aku juga tidak pernah lupa tangisan pertamanya ketika aku dinyatakan diterima di ugm. Tangisan pertama yang menandakan kebanggannya padaku. Masih teringat betul, saat untuk pertama kalinya ia melepasku tinggal sendiri, dibelikan semua barang-barang yang bahkan tidak aku butuhkan. Dia hanya excited, layaknya ayah-ayah lain di seluruh dunia.

Maka semua usahaku, semua kerja kerasku saat ini, semua peluhku, dan semua tantangan yang ada, akan ku jadikan motivasi. Motivasi untuk membuatnya menangis. Menangis bangga, melihat betapa tidak sia-sianya puluhan tahun ia berpeluh membesarkanku. Menunjukkan pada semua orang, dia adalah sosok tangguh yang berhasil, bukan hanya dari kariernya, tapi dari tanggung jawabnya menjaga titipan Tuhan. Hingga tiba saatnya nanti, ayah harus beristirahat. Beristirahat dan sesekali menungguku datang bersama keturunannya. Ayah, tak ada lagi kata-kata yang sanggup melukiskan semua cinta dan terima kasihku padamu. I Love You :)

Selasa, 06 November 2012

Perang Sendiri

Hidup bagiku sebuah kompetisi. Aku berkompetisi dengan kalian semua. Dengan musuhku, temanku, bahkan sahabatku. Hidup membentukku menjadi pribadi yang kompetitor. Hingga aku belum bisa mengerti, apa maksud hidup memaksaku berkompetisi dengan pacarmu. Hidup menempatkan aku dan pacarmu pada kompetisi tertutup. Memaksaku bertopeng, berpura-pura baik, bahkan dengan lugu mengucapkan selamat di anniversary kalian. Di akhir, aku tau ini adalah kompetisi paling bodoh yang pernah aku ikuti.

Entah bagaimana Allah menyusun skenario, entah bagaimana Allah menentukan akhir, aku tidak ingin tahu sekarang. Aku mencintaimu dengan sangat sederhana. Sesederhana bulan menggantikan matahari di kala ia lelah. Sesederhana bintang yang datang tanpa diminta bulan. Sesederhana awan yang memberikan kita hujan. Serta sesederhana seorang kakek renta mencintai istrinya yang tak kalah renta.

Layaknya prajurit bodoh, aku tetap memegang senapan satu-satunya milikku. Aku seolah bersiap menyongsong perang, tanpa menyadari keikhlasanku untuk kalah. Katanya, satu-satunya orang yang kalah dalam peperangan adalah mereka yang tidak ikut berperang. Tapi aku kalah dengan cara lain. Di depanmu, aku adalah gadis lugu yang bahkan tidak mengerti arti peperangan. Tapi diam-diam di belakangmu, aku sudah sibuk menyiapkan amunisi berperang, walau dalam hati kecilku, aku tau aku sudah kalah.

Life is unfair. Aku tau pacarmu tidak menyadari peperangan ini, apalagi menyiapkan deretan amunisi seperti apa yang aku lakukan. Tapi apa? Dia menang, dia mendapatkanmu dengan seluruh hatimu.Dia tertawa saat aku menangis. Dia bersantai saat aku sibuk menata alat perangku. Pada akhirnya, akulah manusia paling bodoh. Yang berperang tanpa lawan. Yang rela mempertaruhkan nyawa padahal aku tau aku kalah. Tapi, apa cinta mengenal kata bodoh?

Senin, 05 November 2012

Devil Friend

Patrick pernah bilang ke Sponge Bob: "Knowledge cannot replace friendship. I'd rather be an idiot than lose you"

Siapa yang bisa memungkiri kalau persahabatan itu indah? Siapa juga yang masih nggak percaya bahwa sahabat sejati itu ada? Atau masih ada yang mau sombong dengan bilang nggak butuh sahabat? Sahabat adalah keluarga kedua yang kita pilih sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tempat kita mengadu, cerita, berbagi, dan merasa dibutuhkan-membutuhkan. Buat saya, sahabat tingkatannya lebih tinggi dari temen, karena siapapun orang yang kita kenal bisa jadi temen, tapi nggak semuanya bisa jadi sahabat.

Seperti zaman SD, SMP, sampai SMA, di kuliahpun saya punya beberapa temen deket. Biasanya kita cerita macem-macem, makan bareng, nyalon bareng, sampai traveling lintas pulau bareng. Saya sendiri nggak menentukan banyak kriteria dalam mencari sahabat. Yang penting orangnya easy going, lucu, dan nggak ngebawa saya ke jalan yang nggak bener. Disini, saya akan menceritakan bagaimana persahabatan kita pernah diuji luar biasa. 

Sebut saja Icha & Tia, dua dari beberapa sahabat yang udah deket sama saya dari awal kuliah. Kita biasa makan bareng, nugas bareng, curhat bareng, dll. Walau deket, kita tetep punya batas privatisasi dan tata krama. Hubungan kita semua juga enjoy, tanpa saling mengikat satu sama lain. Jadi, siapapun bebas punya temen atau bahkan sahabat lain, selama dia merasa nyaman. Petaka muncul ketika tiba-tiba Olala (nama samaran) masuk menghancurkan semuanya.

Entah bagaimana caranya, hari itu Olala nginep di rumah Icha. Diantara kami semua, bisa dibilang Icha adalah orang yang paling tajir, dengan fasilitas rumah dan mobil dari orang tuanya. Malam itu, Olala nginep di rumah Icha dengan alasan tugasnya belum selesai dan dia nggak ngerti sama tugasnya. Yang mengherankan, sampai satu minggu kemudian, Olala masih di rumah Icha. Saya heran, karena sedekat-dekatnya saya dengan Icha & Tya, kami nggak pernah nginep sampai berhari-hari. Saat saya tanyakan ke Icha, dia jawab, "Iya Dev, kasian Olala. Katanya uangnya sisa 400.000 sampai akhir bulan. Makanya dia nginep di rumah gue."

Bagi saya, itu terdengar aneh, mengingat Olala terlihat dari keluarga berada dari fashion dan gadget nya. Apalagi, setau saya papa Olala dan papanya Icha berkerja di perusahaan BUMN Multi Nasional yang sama, hanya beda kota saja. Kalau memang Olala berasal dari keluarga tajir melintir, atau minimal berkecukupan, apa susahnya minta uang tambahan ke orang tuanya ketika uang bulanannya habis?

Saya mulai menaruh curiga. Hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan bulan demi bulan sudah terlewati. Hubungan persahabatan saya dan Icha semakin jauh, karena Icha pulang pergi selalu sama Olala. Olala setiap hari nebeng di rumah Icha, ke kampus pakai mobil Icha, dan bajunya dicuciin sama pembantunya Icha. Setiap kali saya ngajak Icha makan setelah kuliah, dia selalu nggak bisa, karena Olala nggak mau. Karena mungkin saya kelihatan nggak suka Olala memanfaatkan Icha, Olala juga jadi benci ke saya. Kalau sesekali saya dan Icha jalan bareng, Icha selalu mengeluhkan bensinnya yang cepat habis karena mengantar Olala kesana kemari, selain itu juga stock makanan di rumahnya habis sebelum waktunya akibat eksperimen masakan Olala.

Saya semakin benci mendengarnya. Ditambah lagi, pacar Olala adalah gebetan Icha di masa lalu. Semakin hari, perlakuan Olala ke Icha nggak manusiawi. Tya, yang juga sahabat saya dan Icha berkali-kali berusaha menengahi pertengkaran saya dan Icha yang diakibatkan oleh adu domba Olala. Di depan saya, berkali-kali Olala secara blak-blakan tidak membolehkan Icha pergi bersama saya. Perlu diketahui, Olala ini adalah orang bermuka polos, kayak nggak tau apa-apa. Mukanya innocent, tapi sifatnya annoying. Belum lagi sifat sok tau (padahal salah) nya.

Time flies. Saya mulai merelakan kalau persahabatan saya dengan Icha dan Tya memang harus hancur. Sehari-hari saya habiskan bersama Icil, Dudul, Nurul, dan Lia. Sepi memang, ketika kita harus kehilangan bagian dari puzzle yang biasanya menyempurnakan hidup kita. Namun Allah memang baik dan selalu baik. Saya yang sudah bosan menasehati Icha hingga berkali-kali bertengkar, akhirnya ditunjukkan jalan oleh Allah. Perlahan-lahan, kedok dibalik wajah polos Olala ditunjukkan oleh Allah.

Layaknya Theory of Silence yang dipelajari di ilmu komunikasi, sedikit demi sedikit Icha dan Tya mulai menceritakan keburukan Olala kepada saya dan teman-teman yang lain. Sama sekali tidak ada rasa dendam di hati saya kepada mereka berdua, namun saya semakin dan semakin muak pada Olala. Saya ingat betul cerita Tya, bagaimana dengan seenaknya Olala mengganti channel radio di mobil Icha. Bagaimana Olala dengan seenaknya bersikap di rumah Icha seperti rumahnya sendiri. Dari mereka juga, saya bahkan tau bahwa Olala sering menjelek-jelekkan saya.

Di semester 4, saya, Icha, Tya, dan teman-teman mulai kembali dekat. Kebetulan, saat itu ada satu mata kuliah dimana saya, Icha, dan Tya satu kelompok. Saat itu giliran kami yang presentasi. Presentasi dijadwalkan hari Senin, pukul 09.00. Maka, minggu malam adalah deadline pengumpulan slide dan paper. Saat itu, Olala sedang pulang kampung. Kami berbaik hati mengemailkan materi ke Olala, jadi dia tinggal bikin slide dan papernya saja. Slide dikumpulkan ke Icil, deadlinenya minggu jam 8 malam.

Jam 10 malam, semua slide sudah terkumpul, kecuali punya Olala. Dia mengaku sudah berkali-kali meng-email ke Icil, padahal tidak ada apapun email dari Olala. Mungkin Olala memang harus banyak mencari tahu, bahwa email bukan kayak bbm yang sering pending. Jam 12 malam, Icil udah mulai marah2 karena udah ngantuk dan email dari Olala tak kunjung masuk. Saya akhirnya bbm Olala. Saya juga sengaja bilang di twitter kalau tugasnya harusnya di email dari 4 jam yang lalu.

Karena internet kos mati, saya dan Icha ke warnet, untuk cek email dari Olala. Jam 2 pagi, email dari dia masuk. Setelah saya lihat, paper dan slide nya sama persis dari materi yang tempo hari saya kasih. Bener-bener copy-paste. Ternyata kata Tya, Olala juga pernah meminta tugas Tya yang katanya cuma akan dijadikan contoh, tapi ternyata di copy 99%. Ogah berpikir panjang karena udah ngantuk, saya lalu bbm Olala untuk memastikan dia datang presentasi atau enggak, karena dia mengaku masih di kampung halaman. Dia jawab, "Besok gue dateng presentasi kok Dev, kan flight nya pagi." Bodohnya, saya percaya.

Senin pagi, sudah jam setengah 10 dan Olala belum datang. Saya terpaksa mempresentasikan materinya. Esoknya, begitu ketemu di kampus, dia sama sekali nggak minta maaf. Dia cerita ke Tya dan Icha, katanya kemaren ketinggalan pesawat. "Iya, waktu hari minggu malem gue ketinggalan pesawat. Jadi tuh gue udah boarding, eh pas banget pintu pesawatnya ditutup. Padahal gue udah buru-buru ke bandara."

Ada yang aneh dari cerita Olala. Pertama, saya tau dia tidak setajir itu untuk membiarkan tiket ratusan ribu penerbangan Balikpapan-Jogja melayang gitu aja. Kedua, agak terlalu bodoh kalau dia ketinggalan pesawat jam 8 malam, kalau ketinggalan pesawat paling pagi, masih wajar sih. Ketiga, setau saya, kalau memang pesawat mau take-off, passenger tidak lagi dibolehkan check-in, APALAGI BOARDING. Keempat, dia bilang dia beli tiket lagi untuk flight senin paling pagi, tapi kenapa jam setengah 10 belum ada di kampus? Padahal, saya juga langganan flight ter-pagi Jakarta-Jogja, dan biasanya sampai di Jogja paling lambat jam 07.00.

Deretan kebohongan tidak cerdas itu benar-benar bikin saya muak. Pasca kejadian itu, Icha dan Tya sudah tidak dekat dengan Olala, paling hanya bertegur sapa kalau nggak sengaja ketemu di kampus. Sementara itu, persahabatan kami semakin erat dan kompak. Kejadian bodoh lagi-lagi terjadi ketika UTS Semester 4. Di mata kuliah Advertising Media Planning, kami ditugaskan untuk membuat media plan. Semalaman kami begadang di Grissee untuk menghitung rating, biaya, dan tetek bengeknya. Tepat jam 6 pagi, tugas kami selesai. Deadline nya jam setengah 10. Kami kemudian nge-burn materi di warnet. Olala sms Tya, mau liat tugas PMI Tya. Tya yang sudah kapok di plagiat Olala, ngga bales sms Olala. Pagi itu, saat kami bermata panda semalaman nugas, saya yakin Olala baru bangun. Sebodoh-bodohnya mahasiswa, harusnya dia tau media plan tidak akan bisa dikerjakan dalam waktu 3 jam. Sungguh bodoh.

Puncak dimana Icha dan Tya marah pada Olala adalah di semester lima. Kami presentasi di salah satu mata kuliah, jam 7 pagi. Selesai presentasi, sedang ada sesi tanya jawab, Olala datang. Tanpa meminta maaf, dan tanpa rasa bersalah. Alasannya: KETIDURAN. Helloooooo, kita adalah mahasiswa semester lima. Nggak pantes beralasan nggak datang ke presentasi dengan alasan ketiduran. Sungguh nggak profesional. Saya langsung mendamprat via bbm. Keesokannya, Icha mendamprat langsung. Setelah kejadian itu, Olala jarang masuk kuliah, kalaupun nggak sengaja ketemu di kampus, sebisa mungkin dia menghindar. 

Sampai saat ini, hubungan persahabatan saya dan sahabat-sahabat lainnya semakin dekat. Di tulisan ini, kalau Olala baca, saya sungguh ingin berterima kasih sama Olala. Terima kasih telah menunjukkan kepada kami, seperti apa seharusnya seorang sahabat. Kehadiran kamu memang nggak pernah kami inginkan, namun kehadiran dan kejahatan kamu membuat kami menjadi pribadi yang semakin kuat, setia kawan, dan tidak mudah percaya pada tampang polos seseorang. Kamu memang tidak dewasa, tapi kejahatan kamu mendewasakan kami. Kamu memang tidak profesional, tapi ketidakprofesionalan kamu menjadikan kami semakin bertanggung jawab. Terima kasih Olala, karena kamu, kami menjadi semakin kompak dan saling mengisi. Karena hidup adalah seleksi alam, kamu seharusnya tau bagaimana bersikap agar tetap bisa survive.

Semua nama di tulisan ini disamarkan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendeskriminasikan suatu pihak. Tulisan ini sesungguhnya pembelaan diri saya secara tertulis, karena banyaknya orang yang men-judge tanpa tau masalah yang sebenarnya. Saya juga ingin menyampaikan kepada semua pembaca, bahwa jangan pernah menilai orang dari tingkat kepolosan wajah.

In the end, I just wanna say:
Kita semua butuh sahabat, karena persahabatan itu sesungguhnya indah. Persahabatan pasti ditempa masalah, namun masalah seharusnya membuat kita semakin kuat. Sahabat sejati adalah mereka yang masih ada di sisi kita saat ini, meski tau apa kekurangan kita. For my beloved besties, you know that we miss each other when we are not together. Stay here to complete my life, stay here to make my whole day full of laugh, and stay here to make me sure that I'm stronger.

Minggu, 04 November 2012

Cause Life will be good!

I'm not able to write something here. I just make sure that friendship give me everything. Laugh, cries, funny, crazy, etc. I'm speechless. But thanks God for putting there in my life. Thank you :')





Thank you dear my beloved, for making my whole day full of laugh, for making my tears seems easier, for making me stronger than before. I believe, live without you is nothing :* ({})