Patrick pernah bilang ke Sponge Bob: "Knowledge cannot replace friendship. I'd rather be an idiot than lose you"
Siapa yang bisa memungkiri kalau persahabatan itu indah? Siapa juga yang masih nggak percaya bahwa sahabat sejati itu ada? Atau masih ada yang mau sombong dengan bilang nggak butuh sahabat? Sahabat adalah keluarga kedua yang kita pilih sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tempat kita mengadu, cerita, berbagi, dan merasa dibutuhkan-membutuhkan. Buat saya, sahabat tingkatannya lebih tinggi dari temen, karena siapapun orang yang kita kenal bisa jadi temen, tapi nggak semuanya bisa jadi sahabat.
Seperti zaman SD, SMP, sampai SMA, di kuliahpun saya punya beberapa temen deket. Biasanya kita cerita macem-macem, makan bareng, nyalon bareng, sampai traveling lintas pulau bareng. Saya sendiri nggak menentukan banyak kriteria dalam mencari sahabat. Yang penting orangnya easy going, lucu, dan nggak ngebawa saya ke jalan yang nggak bener. Disini, saya akan menceritakan bagaimana persahabatan kita pernah diuji luar biasa.
Sebut saja Icha & Tia, dua dari beberapa sahabat yang udah deket sama saya dari awal kuliah. Kita biasa makan bareng, nugas bareng, curhat bareng, dll. Walau deket, kita tetep punya batas privatisasi dan tata krama. Hubungan kita semua juga enjoy, tanpa saling mengikat satu sama lain. Jadi, siapapun bebas punya temen atau bahkan sahabat lain, selama dia merasa nyaman. Petaka muncul ketika tiba-tiba Olala (nama samaran) masuk menghancurkan semuanya.
Entah bagaimana caranya, hari itu Olala nginep di rumah Icha. Diantara kami semua, bisa dibilang Icha adalah orang yang paling tajir, dengan fasilitas rumah dan mobil dari orang tuanya. Malam itu, Olala nginep di rumah Icha dengan alasan tugasnya belum selesai dan dia nggak ngerti sama tugasnya. Yang mengherankan, sampai satu minggu kemudian, Olala masih di rumah Icha. Saya heran, karena sedekat-dekatnya saya dengan Icha & Tya, kami nggak pernah nginep sampai berhari-hari. Saat saya tanyakan ke Icha, dia jawab, "Iya Dev, kasian Olala. Katanya uangnya sisa 400.000 sampai akhir bulan. Makanya dia nginep di rumah gue."
Bagi saya, itu terdengar aneh, mengingat Olala terlihat dari keluarga berada dari fashion dan gadget nya. Apalagi, setau saya papa Olala dan papanya Icha berkerja di perusahaan BUMN Multi Nasional yang sama, hanya beda kota saja. Kalau memang Olala berasal dari keluarga tajir melintir, atau minimal berkecukupan, apa susahnya minta uang tambahan ke orang tuanya ketika uang bulanannya habis?
Saya mulai menaruh curiga. Hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan bulan demi bulan sudah terlewati. Hubungan persahabatan saya dan Icha semakin jauh, karena Icha pulang pergi selalu sama Olala. Olala setiap hari nebeng di rumah Icha, ke kampus pakai mobil Icha, dan bajunya dicuciin sama pembantunya Icha. Setiap kali saya ngajak Icha makan setelah kuliah, dia selalu nggak bisa, karena Olala nggak mau. Karena mungkin saya kelihatan nggak suka Olala memanfaatkan Icha, Olala juga jadi benci ke saya. Kalau sesekali saya dan Icha jalan bareng, Icha selalu mengeluhkan bensinnya yang cepat habis karena mengantar Olala kesana kemari, selain itu juga stock makanan di rumahnya habis sebelum waktunya akibat eksperimen masakan Olala.
Saya semakin benci mendengarnya. Ditambah lagi, pacar Olala adalah gebetan Icha di masa lalu. Semakin hari, perlakuan Olala ke Icha nggak manusiawi. Tya, yang juga sahabat saya dan Icha berkali-kali berusaha menengahi pertengkaran saya dan Icha yang diakibatkan oleh adu domba Olala. Di depan saya, berkali-kali Olala secara blak-blakan tidak membolehkan Icha pergi bersama saya. Perlu diketahui, Olala ini adalah orang bermuka polos, kayak nggak tau apa-apa. Mukanya innocent, tapi sifatnya annoying. Belum lagi sifat sok tau (padahal salah) nya.
Time flies. Saya mulai merelakan kalau persahabatan saya dengan Icha dan Tya memang harus hancur. Sehari-hari saya habiskan bersama Icil, Dudul, Nurul, dan Lia. Sepi memang, ketika kita harus kehilangan bagian dari puzzle yang biasanya menyempurnakan hidup kita. Namun Allah memang baik dan selalu baik. Saya yang sudah bosan menasehati Icha hingga berkali-kali bertengkar, akhirnya ditunjukkan jalan oleh Allah. Perlahan-lahan, kedok dibalik wajah polos Olala ditunjukkan oleh Allah.
Layaknya Theory of Silence yang dipelajari di ilmu komunikasi, sedikit demi sedikit Icha dan Tya mulai menceritakan keburukan Olala kepada saya dan teman-teman yang lain. Sama sekali tidak ada rasa dendam di hati saya kepada mereka berdua, namun saya semakin dan semakin muak pada Olala. Saya ingat betul cerita Tya, bagaimana dengan seenaknya Olala mengganti channel radio di mobil Icha. Bagaimana Olala dengan seenaknya bersikap di rumah Icha seperti rumahnya sendiri. Dari mereka juga, saya bahkan tau bahwa Olala sering menjelek-jelekkan saya.
Di semester 4, saya, Icha, Tya, dan teman-teman mulai kembali dekat. Kebetulan, saat itu ada satu mata kuliah dimana saya, Icha, dan Tya satu kelompok. Saat itu giliran kami yang presentasi. Presentasi dijadwalkan hari Senin, pukul 09.00. Maka, minggu malam adalah deadline pengumpulan slide dan paper. Saat itu, Olala sedang pulang kampung. Kami berbaik hati mengemailkan materi ke Olala, jadi dia tinggal bikin slide dan papernya saja. Slide dikumpulkan ke Icil, deadlinenya minggu jam 8 malam.
Jam 10 malam, semua slide sudah terkumpul, kecuali punya Olala. Dia mengaku sudah berkali-kali meng-email ke Icil, padahal tidak ada apapun email dari Olala. Mungkin Olala memang harus banyak mencari tahu, bahwa email bukan kayak bbm yang sering pending. Jam 12 malam, Icil udah mulai marah2 karena udah ngantuk dan email dari Olala tak kunjung masuk. Saya akhirnya bbm Olala. Saya juga sengaja bilang di twitter kalau tugasnya harusnya di email dari 4 jam yang lalu.
Karena internet kos mati, saya dan Icha ke warnet, untuk cek email dari Olala. Jam 2 pagi, email dari dia masuk. Setelah saya lihat, paper dan slide nya sama persis dari materi yang tempo hari saya kasih. Bener-bener copy-paste. Ternyata kata Tya, Olala juga pernah meminta tugas Tya yang katanya cuma akan dijadikan contoh, tapi ternyata di copy 99%. Ogah berpikir panjang karena udah ngantuk, saya lalu bbm Olala untuk memastikan dia datang presentasi atau enggak, karena dia mengaku masih di kampung halaman. Dia jawab, "Besok gue dateng presentasi kok Dev, kan flight nya pagi." Bodohnya, saya percaya.
Senin pagi, sudah jam setengah 10 dan Olala belum datang. Saya terpaksa mempresentasikan materinya. Esoknya, begitu ketemu di kampus, dia sama sekali nggak minta maaf. Dia cerita ke Tya dan Icha, katanya kemaren ketinggalan pesawat. "Iya, waktu hari minggu malem gue ketinggalan pesawat. Jadi tuh gue udah boarding, eh pas banget pintu pesawatnya ditutup. Padahal gue udah buru-buru ke bandara."
Ada yang aneh dari cerita Olala. Pertama, saya tau dia tidak setajir itu untuk membiarkan tiket ratusan ribu penerbangan Balikpapan-Jogja melayang gitu aja. Kedua, agak terlalu bodoh kalau dia ketinggalan pesawat jam 8 malam, kalau ketinggalan pesawat paling pagi, masih wajar sih. Ketiga, setau saya, kalau memang pesawat mau take-off, passenger tidak lagi dibolehkan check-in, APALAGI BOARDING. Keempat, dia bilang dia beli tiket lagi untuk flight senin paling pagi, tapi kenapa jam setengah 10 belum ada di kampus? Padahal, saya juga langganan flight ter-pagi Jakarta-Jogja, dan biasanya sampai di Jogja paling lambat jam 07.00.
Deretan kebohongan tidak cerdas itu benar-benar bikin saya muak. Pasca kejadian itu, Icha dan Tya sudah tidak dekat dengan Olala, paling hanya bertegur sapa kalau nggak sengaja ketemu di kampus. Sementara itu, persahabatan kami semakin erat dan kompak. Kejadian bodoh lagi-lagi terjadi ketika UTS Semester 4. Di mata kuliah Advertising Media Planning, kami ditugaskan untuk membuat media plan. Semalaman kami begadang di Grissee untuk menghitung rating, biaya, dan tetek bengeknya. Tepat jam 6 pagi, tugas kami selesai. Deadline nya jam setengah 10. Kami kemudian nge-burn materi di warnet. Olala sms Tya, mau liat tugas PMI Tya. Tya yang sudah kapok di plagiat Olala, ngga bales sms Olala. Pagi itu, saat kami bermata panda semalaman nugas, saya yakin Olala baru bangun. Sebodoh-bodohnya mahasiswa, harusnya dia tau media plan tidak akan bisa dikerjakan dalam waktu 3 jam. Sungguh bodoh.
Puncak dimana Icha dan Tya marah pada Olala adalah di semester lima. Kami presentasi di salah satu mata kuliah, jam 7 pagi. Selesai presentasi, sedang ada sesi tanya jawab, Olala datang. Tanpa meminta maaf, dan tanpa rasa bersalah. Alasannya: KETIDURAN. Helloooooo, kita adalah mahasiswa semester lima. Nggak pantes beralasan nggak datang ke presentasi dengan alasan ketiduran. Sungguh nggak profesional. Saya langsung mendamprat via bbm. Keesokannya, Icha mendamprat langsung. Setelah kejadian itu, Olala jarang masuk kuliah, kalaupun nggak sengaja ketemu di kampus, sebisa mungkin dia menghindar.
Sampai saat ini, hubungan persahabatan saya dan sahabat-sahabat lainnya semakin dekat. Di tulisan ini, kalau Olala baca, saya sungguh ingin berterima kasih sama Olala. Terima kasih telah menunjukkan kepada kami, seperti apa seharusnya seorang sahabat. Kehadiran kamu memang nggak pernah kami inginkan, namun kehadiran dan kejahatan kamu membuat kami menjadi pribadi yang semakin kuat, setia kawan, dan tidak mudah percaya pada tampang polos seseorang. Kamu memang tidak dewasa, tapi kejahatan kamu mendewasakan kami. Kamu memang tidak profesional, tapi ketidakprofesionalan kamu menjadikan kami semakin bertanggung jawab. Terima kasih Olala, karena kamu, kami menjadi semakin kompak dan saling mengisi. Karena hidup adalah seleksi alam, kamu seharusnya tau bagaimana bersikap agar tetap bisa survive.
Semua nama di tulisan ini disamarkan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendeskriminasikan suatu pihak. Tulisan ini sesungguhnya pembelaan diri saya secara tertulis, karena banyaknya orang yang men-judge tanpa tau masalah yang sebenarnya. Saya juga ingin menyampaikan kepada semua pembaca, bahwa jangan pernah menilai orang dari tingkat kepolosan wajah.
In the end, I just wanna say:
Kita semua butuh sahabat, karena persahabatan itu sesungguhnya indah. Persahabatan pasti ditempa masalah, namun masalah seharusnya membuat kita semakin kuat. Sahabat sejati adalah mereka yang masih ada di sisi kita saat ini, meski tau apa kekurangan kita. For my beloved besties, you know that we miss each other when we are not together. Stay here to complete my life, stay here to make my whole day full of laugh, and stay here to make me sure that I'm stronger.