Jumat, 16 November 2012

Ikhlas

"Jadi sampai sekarang, lo masih pengen punya wedding organizer?" tanyamu, ratusan malam yang lalu.

"Iyalah, itu kan cita-cita gue dari dulu. Gue selalu suka pernikahan, dimana ratusan orang berbahagia disitu. Lagian kalo gue punya wedding organizer kan, nanti kalo lo nikah bisa gue yang handle." Buatku itu pernyataan bodoh yang melesat gitu aja. Bukan salahnya larut malam yang membuat otak dan mataku terlalu lelah. Tidak, aku bahkan tidak pernah lelah berbincang denganmu meski mungkin di jam itu, sudah banyak orang yang berpindah ke alam mimpi. 'Kalo lo nikah bisa gue yang handle'. Apa ku bilang? Secara tersirat, aku seperti mengikhlaskan kamu menikah dengan orang lain, dan aku bahkan harus menjadi wedding organizer nya.

"Jangan ah, nanti kalo lo yang handle nikahan gue, lo racunin lagi makanannya, karena lo cemburu nikahnya ngga sama lo." Pernyataan yang sungguh kejam menurutku. Empat tahun lebih seharusnya waktu yang cukup bagimu untuk mengenalku dan paham betul bahwa aku bukanlah Mischa di sinetron cinta fitri. Jangankan meracuni makanan di hari paling membahagiakanmu, membuatmu putus dari wanita yang (katanya) kamu cintai sekalipun, tidak pernah ada dalam kamusku.

Itu percakapan ratusan malam yang lalu. Di menit kesekian juta di obrolan panjang kita di telefon. Mencoba berbicara apa yang mungkin tidak bisa kita bicarakan dengan yang lain. Agaknya lebih dari 500 km tidak cukup menghalangi apa yang coba kita bangun. Kita bukannya tidak lelah disaat mereka sedang terlelap, kita hanya berusaha mencari waktu dimana tidak ada satupun yang mendengar percakapan kita. Atau mungkin, kita mencuri waktu disaat wanitamu tidur terlelap setelah menerima ucapan selamat malam yang mesra dari kamu.

Aku hanya tidak tahu, atau kita berdua berpura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Menutupi kecanggungan dengan tawa. Di sela tawa, sesekali kamu meminta waktu sebentar dan terdengar sibuk mengetik pesan. Ya, aku mengerti kalau dia lebih menjadi prioritasmu. Bukannya aku bahkan tidak pernah menuntut apa-apa, status sekalipun? Hingga ketika semua obrolan tawa menjadi terdiam saat kamu banyak berkeluh kesah. Obrolan kemudian menjadi sunyi saat kamu melelang rasa rindu, dan dengan candaan mengasyikkan menyuruhku kembali ke Jakarta.

Dan pada akhirnya, kita tidak pernah tau kemana takdir akan membawa kita. Kata mereka, mungkin kita tidak digariskan menjadi satu. Apapun yang dirumuskan, mungkin pada akhirnya aku akan menjadi wedding organizer dan mengurus semua keperluan pernikahanmu. Mungkin itu akan menjadi pekerjaan paling mengasyikkan dan juga menyakitkan. Mungkin keluargaku dan keluargamu akan heran, dan memaki tingkah bodoh kita berdua. Mungkin aku yang akan men-design undangan cantik bertuliskan namamu dengannya. Tenang sayang, akan kupastikan semua makanan memiliki cita rasa tinggi dan bebas dari racun. Karena sampai detik ini, aku masih berdoa kamu mendapat kebahagiaan. Karena aku ikhlas, ikhlas melakukan apapun agar kamu bahagia dan tidak terbebani dengan hubungan yang tidak seharusnya. Aku ikhlas, sayang. Maka, pergilah dan temukan kebahagiaanmu. Kembalilah 10 tahun lagi, dengan konsep seperti apa pernikahan yang kamu dan dia inginkan, agar aku bisa merancangnya dengan sempurna :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar