Aku kecil suka sekali dengan weekend. Ketukan pintu di jumat malam, menandakan ayahku kembali dari kota kembang tempatnya bekerja. Dan aku benci hari minggu malam, dimana ia harus kembali ke kota kembang. Hingga menurutku, kebahagiaan terbesarku adalah ketika ia memutuskan tinggal dan bekerja bersama kami. Saat masih berseragam putih merah, aku suka sekali menunjukkan hasil prestasiku. Dan kemudian ayah akan bilang, "Wih, hebat anak ayah."
Ayahku mungkin sama dengan ayah-ayah lainnya di dunia ini. Berusaha mengatakan iya terhadap semua permintaanku, meski mungkin terkadang ia merasa tidak mampu. Memarahiku habis-habisan jika aku pulang setelah maghrib. Menggumam kesal saat aku tak juga bisa nyetir di tanjakan. Sesekali ia memaksaku menjadi dokter, insyinyur, bahkan astronot. Mimpi yang menurutku terlalu tinggi. Tapi itulah ayahku. Ia mengharapkan aku manjadi pribadi yang hebat, seperti ucapan ulang tahunnya saat aku berusia 18 tahun: "SELAMAT ULANG TAHUN ANAKKU SAYANG. HIDUPLAH DI DUNIA, TAKLUKKAN DUNIA, TAPI TAKLUKLAH PADA PENCIPTA DUNIA. MAKA KAMU AKAN MENJADI ORANG NOMER SATU DI DUNIA."
Sesekali, aku marah pada ayah. Mulai ada perasaan benci yang muncul saat kami tidak sepemikiran. Tidak bertegur dalam waktu yang lama. Merasa saling tidak membutuhkan satu sama lain. Gertakannya terkadang ku balas dengan bantingan keras pintu kamarku. Marahnya terkadang kubalas dengan tatapan penuh dendam. Bahkan ketika dia memulai pembicaraan, kuacuhkan dengan keasyikanku terhadap gadget.
Kami bukan pasangan ayah-anak yang harmonis. Kami juga tidak romantis, bahkan untuk sekedar sering ber-sms ketika jarak Jakarta-Jogja memisahkan kami. Tapi aku tidak pernah lupa, bagaimana wajah tegang ayah ketika menungguku tes wawancara UGM bersama ratusan orang tua lainnya. Aku juga tidak pernah lupa tangisan pertamanya ketika aku dinyatakan diterima di ugm. Tangisan pertama yang menandakan kebanggannya padaku. Masih teringat betul, saat untuk pertama kalinya ia melepasku tinggal sendiri, dibelikan semua barang-barang yang bahkan tidak aku butuhkan. Dia hanya excited, layaknya ayah-ayah lain di seluruh dunia.
Maka semua usahaku, semua kerja kerasku saat ini, semua peluhku, dan semua tantangan yang ada, akan ku jadikan motivasi. Motivasi untuk membuatnya menangis. Menangis bangga, melihat betapa tidak sia-sianya puluhan tahun ia berpeluh membesarkanku. Menunjukkan pada semua orang, dia adalah sosok tangguh yang berhasil, bukan hanya dari kariernya, tapi dari tanggung jawabnya menjaga titipan Tuhan. Hingga tiba saatnya nanti, ayah harus beristirahat. Beristirahat dan sesekali menungguku datang bersama keturunannya. Ayah, tak ada lagi kata-kata yang sanggup melukiskan semua cinta dan terima kasihku padamu. I Love You :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar