Selasa, 06 November 2012

Perang Sendiri

Hidup bagiku sebuah kompetisi. Aku berkompetisi dengan kalian semua. Dengan musuhku, temanku, bahkan sahabatku. Hidup membentukku menjadi pribadi yang kompetitor. Hingga aku belum bisa mengerti, apa maksud hidup memaksaku berkompetisi dengan pacarmu. Hidup menempatkan aku dan pacarmu pada kompetisi tertutup. Memaksaku bertopeng, berpura-pura baik, bahkan dengan lugu mengucapkan selamat di anniversary kalian. Di akhir, aku tau ini adalah kompetisi paling bodoh yang pernah aku ikuti.

Entah bagaimana Allah menyusun skenario, entah bagaimana Allah menentukan akhir, aku tidak ingin tahu sekarang. Aku mencintaimu dengan sangat sederhana. Sesederhana bulan menggantikan matahari di kala ia lelah. Sesederhana bintang yang datang tanpa diminta bulan. Sesederhana awan yang memberikan kita hujan. Serta sesederhana seorang kakek renta mencintai istrinya yang tak kalah renta.

Layaknya prajurit bodoh, aku tetap memegang senapan satu-satunya milikku. Aku seolah bersiap menyongsong perang, tanpa menyadari keikhlasanku untuk kalah. Katanya, satu-satunya orang yang kalah dalam peperangan adalah mereka yang tidak ikut berperang. Tapi aku kalah dengan cara lain. Di depanmu, aku adalah gadis lugu yang bahkan tidak mengerti arti peperangan. Tapi diam-diam di belakangmu, aku sudah sibuk menyiapkan amunisi berperang, walau dalam hati kecilku, aku tau aku sudah kalah.

Life is unfair. Aku tau pacarmu tidak menyadari peperangan ini, apalagi menyiapkan deretan amunisi seperti apa yang aku lakukan. Tapi apa? Dia menang, dia mendapatkanmu dengan seluruh hatimu.Dia tertawa saat aku menangis. Dia bersantai saat aku sibuk menata alat perangku. Pada akhirnya, akulah manusia paling bodoh. Yang berperang tanpa lawan. Yang rela mempertaruhkan nyawa padahal aku tau aku kalah. Tapi, apa cinta mengenal kata bodoh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar