Kamis, 31 Desember 2010, pukul 11.00 Paviliun Arafah atas kamar 10 RS.Islam Jakarta.
Suasana ini sama sekali tidak pernah aku rasakan di keluarga. Aku seperti bukan berada di tengah-tengah keluargaku. Sunyi, senyap, seperti dirundung duka yang mendalam. Keluargaku adalah keluarga yg bahagia. Kami semua penuh dengan canda tawa. Tapi sama sekali tidak untuk siang ini. Perlahan-lahan, satu demi satu anggota keluarga besarku datang. Di depan kami, kakek seperti tertidur pulas. Sesekali nafasnya berbunyi agak pelan. Di kanannya, pakde ku tak henti-henti membisikkan kalimat Allah. Kejadian yang amat sangat aku benci ini ternyata harus berlangsung lama. Detik demi detik bahkan berbunyi dari jam yang ada di ruangan rumah sakit ini. Menembus kesunyian dalam diamnya seluruh anggota keluargaku. Saat itu, aku seperti enggan beranjak dari sisinya. Jari jemariku terus menggenggam erat tangannya. Aku yakin, ini hanya masa kritisnya. Kakekku akan sembuh dan kami akan menonton bola bersama lagi di kemudian hari. Tapi nyaliku seperti jatuh saat om windu menggelengkan kepala tanda kecewa setelah memegang kaki mbah kakung. Penasaran, aku rangkul kakinya. Dan tenyata DINGIN. Kakinya dingin sebatas betis. Air mataku perlahan mulai muncul. Waktu terus bergulir. Nafas kakung semakin menderu agak keras dari yang tadi. Jam dinding mulai menunjukkan pukul 14.00. Tanganku masih enggan bergerak dari tangan kakung. Perlahan-lahan tangan kakung mulai mendingin. Saat itu, nenek membisikkan sesuatu ke mbah kakung. "Mas, kalau mas mau pergi duluan, silahkan. Saya ikhlas" Selang beberapa detik, mulut kakung terbuka dan mengucapkan lafal "La illa ha illallah". Tangannya yang masih dalam genggamanku sontak melemas. Denyut nadinya seperti hilang. Aku sadar, kakekku telah pergi, tapi dalam hati kecilku, aku berharap TIDAK! Sampai dokter datang, dan berkata, "bapak sudah tidak ada". Kami semua langsung berkata, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un". Tumpah lah air mataku saat itu juga. Tubuhku serasa bobrok. Bahkan di saat aku merasa tidak kuasa untuk berdiri, Saphira, sepupuku langsung menjatuhkan tubuh dan air matanya di pelukanku. Dan saat itu, aku sadar, SEPARUH JIWAKU PERGI. Yang ada di otakku adalah OST. catatanku yang dinyanyikan Melly feat Baim. Seperti ini liriknya.
Awan-awan menghitam
Langit runtuhkan bumi
Saat aku tahu kenyataan menyakitkan
Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu.
Aku tak ingin ada kesedihan.
Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia di harinya
Berikan dia hidup
Tuhan terserah padamu
Aku ikut maumu Tuhan
Ku catat semua ceritaku dalam harianku....
Di perjalanan ke rumah...
Sirine ambulance berbunyi menderu membelah kawasan Cempaka Putih. Aku masih duduk dalam diam di dalam mobil yang mengawal ambulance itu ke rumahku. Aku seperti masih tidak percaya, jenazah yang ada di dalamnya adalah kakekku. Kakek yang selalu ada untukku sejak aku lahir. Begitu tiba di rumah, suasana duka langsung menyelimuti. Bendera kuning terpampang di tiang listrik pinggir jalan rumahku. Aku seperti tak kuasa menerima kenyataan ini. Tanpa mengucap satu katapun kepada semua orang yang hadir, aku lari secepatnya ke kamarku. Aku luapkan segala emosi dan teriakanku disana. Aku merasa duniaku hancur. Hancur lebur. Siapa aku tanpa kakekku? Apa yang bisa aku lakukan tanpanya? Siapa lagi pengajar kehidupan terbaikku? Siapa lagi satu-satunya laki-laki yang amat aku percaya? Semua pertanyaan dan kegelisahan itu langsung menyeruak di benakku. Semua duka, luka, dan kepedihan bercampur jadi satu.
Aku menyusuri anak tangga rumahku perlahan-lahan. Di ruang tamu, jenazah kakekku membujur kaku. Wajahnya memancarkan cahaya yang menyejukkan. Malam itu adalah malam tahun baru. Malam yang biasanya kami lewati penuh dengan suka cita. Aku masih ingat, acara bakar ikan di malam tahun baru tahun lalu. Tapi TIDAK untuk malam ini! Aku sama sekali tidak melihat senyuman dari keluargaku. Semua haru dalam tangis. Ratusan orang datang silih berganti mengucapkan ucapan berbelasungkawa. Tapi aku terlalu pengecut! aku bahkan tidak berani menatap wajahnya. Aku merasa menjadi manusia terkotor di hadapan kakekku yang suci bersih. Hatiku hanya dapat berucap, "Engkau anugerah terbaik yang Allah berikan padaku".
Esok pagi, tepat di hari pertama tahun 2010 kakekku akan dimakamkan di makam keluarga di Tangerang. Kesibukan sudah terlihat di rumahku sejak pagi hari. Tepat pukul 07.00, jenazah kakek dimandikan, lalu disolatkan. Dan tiba saatnya di ambang kesedihan. Yakni melihat jenazahnya untuk yang terakhir kali. Satu persatu dari anggota keluarga menciumi untuk yang terakhir kali. Sambil menahan air mata, aku berbisik padanya, "Devita mencintaimu mbah. terima kasih telah mendidikku selama hampir 17 tahun." Lalu kukecup kedua pipi dan keningnya. Tangisku lagi-lagi meledak.
Jum'at, 1 Januari 2010, di Rumah.
Tepat pukul 09.00, ambulance telah diparkir di depan rumah. Ratusan orang menanti di depan rumahku untuk melepas kepergiannya. Diiringi tangisa, jenazah kakek dimasukkan ke dalam Ambulance. Ratusan orang yang sama sekali tidak kukenal itu seakan mengucapkan selamat jalan dan memberikan penghormatan terakhir kepada kakek. Saat itu aku rasanya ingin berteriak bangga, "ITU KAKEKKU!!".
Keluargaku akhirnya menyewa 2 metromini sebagai transportasi bagi para pelayat yang ingin mengantar kakek. Ambulance yang membawa jenazah kakek akhirnya pergi diiringi 2 buah metromini dan mobil-mobil pribadi milik keluarga. Ini mungkin perjalanan yang paling menyakitkan sepanjang hidupku. Aku harus mengantarkan kakek ke peristirahatannya yang terakhir. Masih terlalu lekang dalam ingatanku, setiap tahun kami pergi ziarah ke Tangerang untuk mendoakan anggota keluarga yang telah tiada.
Di Tangerang...
Kakek telah selesai dimakamkan. Prosesi yang Alhamdulillah cepat dan lancar. Sementara para pria solat Jum'at, aku masih terpaku di depan makamnya. Batu nisan yang bertuliskan "SUKARBAN" itu terus aku pandangi. Lagi-lagi, aku tidak percaya orang terdekatku telah tiada. Kali ini tangisku sudah tak tertahankan lagi. Dukaku mungkin terlalu mendalam. Aku tidak pernah kehilangan sosok keluargaku, kecuali mbah buyutku yang meninggal pada 8 Maret 2002.
Hari-hari aku jalani seperti biasa. Perbedaan begitu mencolok. Tidak ada lagi mbah kakungku. Mbah kakung yang selalu aku lihat setiap kali aku ada di rumah. Mbah kakung yang selalu setia menemaniku menonton bola. Mbah putriku pun amat sangat terpukul dengan keadaan ini. Dulu, setiap hari selalu ia habiskan bersama mbah kakung. Tapi sekarang, ia harus melewatinya sendiri.
Aku masih punya tanggung jawab. Keinginan kakek agar aku kuliah di UGM tentu bukanlah hal yang bisa aku abaikan. Meski dirundung kedukaan, aku HARUS bangkit. Di tengah duka, aku seperti terseok-seok mengejar mimpiku. Setiap kali aku akan jatuh, aku membayangkan wajahnya yang selalu tersenyum kepadaku. Dan saat itu pula, seperti ada jutaan kekuatan yang membuatku bangkit.
Terlalu lekang dalam ingatanku, bagaimana mbah kakung menyayangiku sejak dulu. Bagaimana ia selalu menjadi pahlawan dalam hidupku. Bagaimana ia mengajarkanku kesederhanaan. Aku masih ingat, setiap kali aku menangis saat aku bertengkar dengan ayah-bunda. Ia akan mengelus rambutku dan berkata, "Sabar sayang, terima aja. Kita nggak akan pernah bisa membalas jasa mereka." Kakung tidak pernah menyalahkanku disaat aku salah. Ia akan mengulurkana tangannya, dan membuat aku bangkit.
Saat aku melakukan kebodohan, ia tidak akan mengatakan aku bodoh. Ia akan sabar mengajariku. Saat aku berkomentar tentang sepakbola dengan penuh emosi, ia selalu mengajarkanku melihat sesuatu dari sisi lain. Saat aku tidak pernah lagi punya tempat berbagi, dia akan membuka hatinya.
Aku tidak akan pernah bisa melupakan, saat kakung memarahi cucu nya yang lain demi membelaku. Saat aku menangis pasca bertengkar dengan sepupuku, kakung memelukku dengan hangat. Aku merindukan panggilannya. Dia selalu memanggilku "yang", "cah ayu", "neng", "cantik". Hal yang sama sekali tidak pernah dilakukan ayah-bundaku sekalipun.
Aku tidak akan pernah lupa, saat kami berjalan berkilo-kilo meter di pagi hari. Saat kami memancing di danau yang mungkin kini sudah tidak ada. Aku bahkan tidak akan lupa, bagaimana kakung mengerti apa yang aku tidak mengerti. Tapi kakung punya sejuta kepercayaan kepadaku. Ia sama sekali tidak ragu atas apapun yang aku lakukan.
Saat aku bahkan sudah tidak percaya ada laki-laki yang setia, dia menunjukkan kesetiaannya yang mendalam kepada mbah putri. Saat aku begitu kecewa kepada semua laki-laki, tanpa sadar dia mengajariku arti cinta yang sesungguhnya. Tapi dambaanku itu telah pergi. Pergi mendahuluiku dan meninggalkanku dengan berjuta masalah. Bahkan sepakbola sekalipun, terasa hambar bagiku. Tidak ada lagi kakek yang duduk di ruang TV dengan secangkir kopinya di setiap sore sambil menyaksikan Liga Super Indonesia.
Pengumuman UGM yang menyatakan aku diterima seperti hambar bagiku. Tidak ada lagi kakek yang mendampingiku. Aku membayangkan, kakung yang akan menangis saat tahu cucunya diterima. Aku iri pada sepupu-sepupuku yang memiliki waktu lebih lama bersama kakung daripada aku.
Separuh jiwaku itu memang telah pergi. Ia tidak akan pernah kembali untuk siapapun dan dengan alasan apapun. Terima kasih kakung, untuk mengajarkan aku arti dari semua kehidupan. Terima kasihh untuk menjadi orang terdekatku. Terima kasih telah melakukan apa yang orang lain tidak bisa lakukan untukku. Aku mencintaimu, sampai kapanpun dan lebih dari apapun
Kami yang beduka:Istri : Ny. Sa'diyahAnak : Urip Kartono Octo Gane Purnomo Agus Widayanto Joko Santoso Diah Widiyasari Windu DiantoroMenantu : Ningsih Rositawati Ary Santi Sri Suharyati Sukmawardhana RetnoCucu : Wira Panji Hidayatullah Dimas Danu Nasrullah Citra Esti Isti Qomah Agry Fadillah Rizaldy Aulia Kharisma Putri Sarah Fauziah Audina Widia Aryni Fathan Arswida Zada Ikhsan Arswida Gunung Amerul Santoso Bayu Ar-Rizqi Saphira Hapsari Az-zahra Devita Nur Asri Pratiwi Fallah Fathur Rahman Fadillah Putra Syafwatullah Isnadiah Sari Kurnia Husnacicit : Faris Abussalam