Kamis, 20 Juni 2013
Rumah Penuh Makna
Bagi saya, waktu bergulir sangat cepat sekali. Entah karena saya terlalu menikmati setiap jengkal kebahagiaan di hidup ini, atau karena memang waktu yang memiliki kecepatan lebih. Rasanya masih kemarin kami sama-sama kecil. Rasanya masih kemarin perayaan wisuda digelar bergiliran. Rasanya masih kemarin kita rutin melepas peluk di hari raya. Rasanya masih kemarin kita menikmati cuaca dingin pedesaan, bersama-sama, dan penuh dengan uraian tawa.
Kemudian waktu terbang mengudara, membawa kami semua ke dimensi berbeda. Tawa itu masih tetap ada, meski hanya menyisakan sisa. Sungguh, suatu achievement yang sangat berarti bisa menjadi bagian dari kalian. Kita semua berlomba, menghiasi dinding rumah sederhana itu dengan foto bertoga. Kita semua berlomba, menceritakan pencapaian yang kita dapat di tanah rantau.
Di setiap hari raya, kita berkumpul di rumah sederhana di pedesaan yang masih terpencil. Kami menyebutnya rumah aki, rumah kakek moyang kami. Aktivitas kami selalu sama dari tahun ke tahun. Berbincang hangat di ruang tamu. Berebut tidur dengan kasur yang sengaja kami gelar di ruang televisi. Di siang hari, anak tangga dari tanah itu kami susuri, menuju kolam milik aki dan kemudian memancing bersama. Aku bagian mengorek tanah, mencari cacing-cacing hidup untuk dijadikan umpan. Kemudian salah satu dari kita, karena tidak sabar, memilih mengambil roti untuk umpannya.
Di hari kedua lebaran, rumah aki selalu penuh dengan sanak keluarga lain yang datang. Maka kami akan otomatis masuk ke dalam kamar, berdesakan, bercerita penuh canda, dan biasanya akan dengan sendirinya dibubarkan oleh suara buang gas. Di sisa hari, kami mambabat habis tempat-tempat wisata terdekat. Dulu, jok mobil belakang masih muat ditempati 4 orang. Mungkin kini sudah tidak bisa.
Jika waktu berlibur habis, kami bersiap kembali ke kota masing-masing. Maka saat itu, aki dan emih akan duduk di bangku depan rumah dengan tatapan parau. Ketika mesin mobil sudah mulai menyala, matanya hampir berair. Di sela kami memasukkan barang ke mobil, dengan sendu aki dan emih akan berkata, "Mau kemana? Disini aja". Meski mereka tau itu tidak mungkin.
Maka ketika mobil perlahan bergerak menyusuri jalanan pedesaan, tatapan mereka semakin kosong. Mungkin merindukan tawa kami yang senantiasa meramaikan rumah di malam hari. Kini, semua masih sama. Rumah itu, penghuninya, dan rasa rindu yang dirasakan setelah lama tak bersua. Kini, rumah semakin diramaikan dengan tangis lucu generasi keempat keluarga kami. Anak salah satu dari kami. Ya, kami yang dulu masih sama-sama kecil dan bermain layang-layang bersama kini harus melepas masa lajang satu per satu setelah menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab pada orang tua.
Pada akhirnya, rumah kecil mungil itu tetap menjadi sesuatu yang tak bisa lepas dari ingatan kami. Meski mungkin sudah tidak serutin itu kami sambangi. Meski mungkin ada kehangatan baru yang berbeda di dalamnya. Meski masing-masing dari kami mulai membangun kehidupan baru. Meski masing-masing dari kami mulai sibuk mengejar karier dan sisa-sisa mimpi yang ada. Namun percayalah, telepon di rumah itu selalu ingin berdering, karena penghuninya selalu ingin tau kabar dari kami.
Untuk aki dan emih, terima kasih sudah menjadi dua malaikat bagi kami. Terima kasih telah melahirkan anak-anak hebat yang mampu mendidik kami dengan baik. Terima kasih telah menorehkan sejarah dalam hidup kami. Terima kasih telah selalu setia di rumah mungil itu, menanti kedatangan kami satu per satu. Suatu saat, kami memang akan pergi, melalang buana mencari arti hidup. Tapi percayalah, suatu saat pula kami akan kembali ke rumah penuh makna itu, memandangi dinding dan kaca yang memuat foto kami, dan melayangkan ingatan pada masa lampau. Karena sesungguhnya, di rumah penuh makna itu kami bisa menjadi apa yang kami inginkan. Aki, emih, eneng rindu. Salam sungkem dari eneng di Jogja. I love you both!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar