Sabtu, 19 Oktober 2013

We, Us, Our.


Tiga tahun susah senang kehidupan perkuliahan telah kita lewati bersama. Masing-masing dari kita menjadi saksi kenakalan satu sama lain. Jika salah satu dari kita meraih prestasi, tak jarang kita lewati bersama. Kita pernah mengecap indahnya bolos kuliah demi bermain bersama. Kita pernah sama-sama berteriak bahagia, atau menangis sedih saat menghadapi masalah. Kita terus mengeksplorasi diri dan selalu menjadi diri sendiri, seakan tak mempedulikan pendapat orang diluar sana.

Pertemuan kita tak pernah tak diisi dengan tawa. Menertawakan satu sama lain, meledek, menghina, dan semuanya selalu kita sudahi dengan tawa. Layaknya persahabatan yang dirasakan orang lain, kita juga tak jarang berlibur, karaoke, nonton, dan hang out bersama. Semuanya selalu dimulai dan diakhiri dengan tawa, membuat saya merasa masing-masing dari kita berjiwa humoris.

Hingga tibalah pada persiapan Kuliah Kerja Nyata. Karena tak ingin ber-KKN di lokasi berbeda, berbulan-bulan kita mempersiapkan dan mengusulkan tema, agar bisa KKN bersama. Jalan tak semudah yang kita pikirkan. Tawa yang dulu selalu hadir mulai tergantikan perang urat syaraf. Canda yang dulu tak pernah lepas, perlahan mulai digantikan dengan ketegangan. Saat itu secara akademis memang kita sedang mempersiapkan KKN, tapi bagi saya, kita sedang berada dalam ujian persahabatan paling tinggi.

Perbedaan pendapat mulai kita rasakan. Sulitnya proses menjadi tim pengusul juga kita nikmati bersama. Mengurus proposal, rapat rutin, menyusun program, hingga pencarian dana kita lakukan berbulan-bulan. Bertujuh. Maka wajar, jika dalam pelaksanaan KKN kita terkesan garang pada siapapun yang menganggap remeh dan tidak mentaati peraturan. Karena dalam persiapannya saja, persahabatan kita taruhannya.

Saat hari terakhir KKN, saat pondokan kita ramai didatangi warga yang berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat jalan sambil menangis, saya sempatkan melihat wajah kalian. Wajah-wajah yang nampak lelah, yang memikul tanggung jawab besar. Kemudian yang saya bayangkan adalah saat-saat kita kesulitan mencari dana, membuat proposal, hingga bolak-balik ke lantai tiga rektorat.

Dan hari itu, we did it guys! Kita membuktikan kepada semua pihak, bahwa kita, sekumpulan mahasiswa (atau geng) yang dikenal hanya bisa bersenang-senang telah bisa melakukan hal yang lebih. Bukan hal yang mudah tentunya delapan bulan berkutat dengan persiapan, memimpin 22 anggota lainnya, dan melaksanakan dua bulan KKN hingga dilepas penuh haru oleh warga desa. Hari itu, bagi saya, kita berhasil konsisten, tegas, dan tak pandang bulu dalam menerapkan peraturan. Kita bisa mendebat semua yang tidak menuruti kita demi kebaikan bersama. Serta yang paling penting, kita bisa menjawab rasa underestimate orang-orang terhadap kita.

Ya, terlepas dari itu semua, terlepas dari semua pahit manis perjalanan yang kita rasakan, saya bangga menjadi bagian dari kalian. Saya bangga bisa tertawa bersama kalian. Saya bangga menjadi bagian dari kita, yang selalu saling mendukung. Kita memang sudah di ujung perkuliahan, tapi sudah semestinya ini bukan ujung dari persahabatan. Kemarahan, keegoisan, dan kebodohan kita masing-masing biarlah menjadi suatu pelajaran, yang akan kita tertawakan di kemudian hari. Karena seperti kata Pattrick, "I'd rather be an idiot than lose you".

Teruntuk: Gilang, Nisa, Prisil, Evint, Dhani & Kevin. I love you, I love us!

Jumat, 11 Oktober 2013

Jika Aku Dewasa Nanti

Semua orang punya mimpi. Tidak ada orang yang yang tidak ingin hidup dalam kemudahan. Itu juga mimpiku dulu. Tapi jika keterbatasan menempaku menjadi wanita kuat, kenapa tidak?

Dua puluh tahun, bagiku usia ideal untuk membicarakan mimpi sambil berjuang mewujudkannya. Semua lantang berbicara masa depan. Bagiku, mimpi tak sebatas bekerja dimana dan berprofesi sebagai apa. Mimpi adalah keseluruhan hidup yang nantinya akan kita jalani.

Mimpiku menjadi bundaku. Wanita yang bangun saat kami semua masih terlelap. Sibuk menyiapkan baju sekolahku, baju kerja ayahku, dan sarapan untuk kami semua. Di rumahku ada pembantu, tapi kami jauh lebih menyukai hasil strikaan Bunda daripada Bi Ani.

Setiap hari bunda bekerja sebagai guru. Wajah manisnya selalu terlihat ceria. Baginya, berkumpul dengan anak-anak yang masih polos merupakan hal yang menyenangkan. Di malam hari, Bunda tetap menyiapkan makanan untuk kami, meski kadang terpaksa harus membeli diluar karena tidak sempat masak. Seringkali Bunda memasak, terutama saat weekend. Bahkan di beberapa lebaran terakhir Bunda memasak kue sendiri. Guess what? Tamu-tamu yang datang ke rumah kami selalu bilang, "Kuenya enak banget, beli dimana?"

Banyak orang bilang, kalau wanita tidak bisa memasak itu adalah wanita yang tidak diinginkan oleh suami. Bagiku sama sekali tidak. Masak tentu bukan takaran pasti. Suami jelas lebih membutuhkan wanita yang bisa mandiri, bisa membantunya menopang keuangan keluarga, bisa mendidik anak dengan luar biasa, bahkan berparas cantik. Uang bisa membayar orang untuk memasak, tapi apakah uang bisa membayar seseorang untuk mendidik anak dengan baik? Sekali lagi, bisa memasak bagiku bukan takaran yang membuat suami tetap tergila-gila dengan istri. Dan aku, tidak pernah sengaja berusaha masak hanya demi menjadi istri idaman. Kalaupun sesekali mencoba resep masakan, itu karena aku suka.

Perjalanan Bunda tidak mudah. Dalam keadaan apapun, dia selalu mendukung karier ayahku. Ya, bagiku ayah adalah laki-laki paling beruntung di dunia. Mendapatkan wanita cantik, berhati mulia, dan setia. Setiap kali ayahku bertugas keluar kota, aku perhatikan Bunda menjadi orang sibuk. Semua baju ayah ditata rapi. Kata Bunda, baju yang harus diletakkan di bagian terbawah adalah baju yang akan digunakan di hari terakhir, agar tidak berantakan ketika diambil. Jangan lupa, handuk diletakkan di bagian teratas. Dukungan kepada ayahku tak berhenti sampai disitu. Bunda sering hadir dalam berbagai acara Komnas Pendidikan diluar kota.

Hobi Bunda adalah shopping. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anak dan suaminya. Aku perhatikan selera Bunda sangat tinggi dalam memilih pakaian. Kemeja untuk ayah, seragam untuk Dek Al, sampai flat shoes untukku. Dari aku kecil, Bunda selalu memperhatikan seragam sekolahku. Jika sudah sedikit kusam, langsung digantinya dengan yang baru.

Bunda anak perempuan satu-satunya dari enam bersaudara. Anehnya, tidak ada sama sekali sikap manja dalam dirinya. Pergi dan pulang kerja sendiri. Kemanapun berani sendiri. Bahkan penghasilannya sangat cukup untuk bersenang-senang di ibukota. Tapi itu sama sekali tidak pernah ia lakukan. Ia lebih memilih mengunjungiku di Jogja atau Dek Al di Tasik. Ia lebih memilih menyisihkan gajinya untuk orang yang benar-benar membutuhkan. Itu pula yang selalu ia terapkan padaku, "Dari uang yang kamu miliki, ada hak orang lain disitu."

Selama tiga tahun aku di Jogja, Bunda sering datang menyambangiku. Dibersihkan seluruh sudut kamar dan kamar mandiku. Aku pernah mencobanya sendiri. Hasilnya tak sebersih Bunda. Kehebatannya semakin membuatku tak yakin aku bisa mendidik anakku sekuat beliau. Ah, sungguh bagiku Bunda adalah ciptaan Allah paling sempurna.

Bunda selalu berpesan. "Jadilah wanita yang kuat, penyayang, lemah lembut, dan memiliki harga diri. Topang hidupmu sendiri. Jangan pernah mengandalkan hidup pada orang lain. Yang dapat ayah dan bunda wariskan padamu hanya ilmu dan pendidikan tinggi, agar kelak kamu bisa berguna untuk keluargamu dan orang-orang yang membutuhkanmu. Tetaplah bersikap sederhana, bersahaja, dan lakukan apa yang menurutmu baik."

Selasa, 10 September 2013

Panawangan, You'll Always Be Our Second Home


Hari ini saya menyadari, Tuhan menciptakan pertemuan indah dan kebersamaan yang menyenangkan hanya untuk perpisahan yang menguras air mata.

Tentu masih lekat di ingatan kita, betapa menyebalkan dan menyenangkannya tebakan kura-kura super cepat, mie baso, dan mbakmi jowo.
Hampir semua dari kita tentu tidak akan melupakan sapaan hangat di sekolah setiap pagi.
Semua dari kita saling melempar jatah rapat di balai desa, memilih berprogram dengan anak kecil yang sangat menyenangkan.
Matahari Panawangan, menjadi saksi bagaimana kita melebur bersama masyarakat,tidak hanya makan dan tidur seperti yang dituduhkan mereka kepada kita.
Masih lekat dalam ingatan kita suara lugu anak-anak yang tanpa lelah datang ke pondokan setiap hari.
Derap langkah ibu-ibu yang dengan tulus mengantarkan makanan pada kita.

Dalam rapat, sebagian dari kita diam.
Memilih mengambil suara terbanyak
Sebagian dari kita, berteriak lantang. 
Di berbagai rapat unit, otot-otot menegang.
Tak sedikit menahan amarah karena keputusan yang diambil dinilai kontroversial.
Beberapa detik setelah itu, kita tetap bisa tertawa bersama.
Hingga akhirnya kita semua paham dan belajar, bahwa tak semua yang kita inginkan bisa tercapai.

Dua bulan terakhir, pagi kita tidak diisi dengan kuliah.
Pagi kita adalah pagi yang cerah. Disapa anak-anak lugu dan polos.
Disambut hangat bapak ibu guru. 
Di pagi dua bulan terakhir, kita menguras otak, melawan dingin, bergumul dengan kabut.
Semua dari kita, setiap pagi, memikirkan bagaimana menyampaikan materi yang telah disiapkan.

Di bulan Ramadhan....
Sahur kita lakukan bersama. 
Dengan wajah lelah dan mata mengantuk.
Berusaha menerima makanan apapun yang kita dapat. Suka atau tidak. Enak atau tidak.
Begitupun dengan berbuka.
Kita duduk melingkar, diselingi canda tawa hangat.

Saat lebaran...
Saat semua insan menyatu dengan keluarga.
Saat jalan raya di lokasi KKN kita dipenuhi plat luar Ciamis.
Saat televisi sibuk meliput arus mudik
Kita berkumpul di suatu rumah setelah melepas tangis.
Menikmati ketupat bersama gulai dan opor.
Tak terlalu tampak berbeda dari biasanya.
Tetap ada tawa hangat disitu.
Karena menurut kita, kita adalah keluarga kedua.

Tentu semua dari kita masih ingat tentang drama yang kita perankan di acara 17 Agustus.
Drama yang kita latih selama seminggu.
Drama sedih, yang justru mengundang tawa dari warga.
Suatu bentuk edukasi kita kepada warga dalam memaknai kemerdekaan.

Terakhir...
Saat detik-detik kepulangan kita.
Kita tentu tidak akan pernah lupa bagaimana isak tangis mengiringi kita
Bagaimana anak-anak memeluk kita dengan erat
Di beberapa hari terakhir, entah berapa orang yang mengatakan, "aa, teteh, jangan pulang ya"
Entah berapa sms yang kita terima, suatu permohonan untuk tetap tinggal.
Minggu itu, di sekolah penuh derai air mata.
Hingga detik kepulangan kita.
Saat bus sudah menanti
Saat pondokan kita dipenuhi warga Panawangan
Ketika kita perlahan memasuki bus, dan isak tangis itu semakin kencang
Doa mereka mengalir, mendoakan kita selamat sampai tujuan
Pelukan ibu-ibu dan bapak-bapak sangat hangat
Hari itu, warga Panawangan menyatakan rasa kehilangannya.

Terlepas dari apa yang kita abdikan selama dua bulan
Memberikan apa yang bisa kita berikan
Melakukan semua yang terbaik
Menjalani sebuah proses hidup menjadi manusia yang lebih bersahaja
Dan proses menemukan keluarga baru
Kita telah menjadi manusia baru dengan kebersahajaan

Terima kasih Panawangan, telah mengajarkan kami bagaimana menantang hidup, meresapi hidup, merasakan dicintai, dihargai, dan dihormati. You'll always be our second home.

Minggu, 11 Agustus 2013

Selamat Jalan.

Selasa, 6 Agustus 2013.
Semua terjadi seperti biasa. Aku masih berada di lokasi KKN. Pagi ini, programnya adalah pemasangan reflektor di sepanjang jalan lokasi KKN kami, karena memang merupakan jalur yang dilintasi para pemudik. Pagi hari, bersama para anggota lelaki, kami mengais bambu sebagai cagrakan untuk reflektor. Pengalaman unik menurutku, bergumul dengan nyamuk kebun, memotong bambu, dan sukses gatal-gatal seharian. Siang hari, semua telah selesai. Beres mandi dan bersih-bersih, aku tertidur pulas. Jam 4 sore, aku terbangun. Seperti biasa, aku cek handphoneku. Ada 1 mention dari twitter. Ternyata Bayu, sepupuku di Jakarta. Mention itu cukup membuatku tercengang kaget. Selang 2 detik, kuambil blackberryku. Kuhubungi bunda. Menunggu lama, akhirnya diangkat. Dengan suara parau dan menahan nangis, bunda mengatakan jika mbah uti telah berpulang. Dalam hitungan detik, air mataku tumpah. Aku bahkan tidak pernah membayangkan rasanya ditinggal orang yang selama 20 tahun serumah denganku, menemani hidupku, dan selalu setia mendengarkan semua keluh kesahku. Langsung kusambar tasku, detik itu juga aku memutuskan cuti  KKN. 

Singkat kata, aku tiba di Jakarta pukul 01.00 dini hari. Dari tempatku turun bus, ayah kemudian melajukan mobil pada kecepatan cukup tinggi. Aku masih kalut. Jakarta kemudian diguyur hujan sangat deras. Satu jam kemudian, kami tiba di rumah. Di teras, berjejer bangku bekas pelayat. Bendera kuning terpampang di tiang listrik. Bayanganku melayang pada kejadian 3 tahun lalu, ketika mbah kakung harus meninggalkan kami semua. Tanpa pikir panjang, aku keluar dari mobil. Kuterobos genangan air di depan rumah. Memasuki ruang tamu, jenazah mbah uti terbujur kaku berbalut kain. Seketika, kakiku lemas tak berdaya. Aku berlari ke kamar mbah uti, berharap ini hanya mimpi dan mbah uti masih ada di kamar, setia menunggu kepulanganku seperti biasa. Tapi yang kutemukan di kamar hanyalah Bunda yang sedang terisak dengan mata sangat merah. Aku mulai menyadari, mbah uti sudah benar-benar tidak ada.

Setelah berwudhu, kuberanikan diri ke ruang tamu. Mendekat dan menerima kenyataan bahwa Allah telah mengambil bagian terpenting dalam hidupku. Kubuka perlahan penutup wajahnya. Ya, wajah tua yang nampak lelah itu mulai memucat. Wajah yang menjadi saksi kenakalanku pulang tengah malam saat sedang di Jakarta. Wajah yang selalu setia menantiku di ruang tamu itu, tempatnya tergeletak malam ini. Wajah yang setia mendengarkan semua keluhanku tentang dunia perkuliahan yang sulit, kisah cinta yang rumit, serta tempatku mengadu jika dimarahi ayah bunda. Wajah itu, kini kaku bersama seluruh badannya. Mbah Uti, andai Allah memberi kita waktu 5 detik untukku memelukmu erat. Aku menahan tangisku sebisa mungkin, mengingat pesan mbah uti saat 3 tahun yang lalu mbah kakung berpulang, bahwa kita harus ikhlas menerima kenyataan. Saat itu, aku berdiri sendiri di depan jasadmu, berusaha menguatkan diriku sendiri. 

Ingatanku kemudian melayang pada tanggal 2 Juli, saat aku tiba di lokasi KKN. Saat itu Mbah Uti hadir dan terlihat sehat. Obrolan kami singkat, karena aku disibukkan dengan bongkar barang dan persiapan awal. Ketika hendak kembali ke Jakarta, aku masih merasakan pelukan hangat. Sungguh tidak ada firasat itu adalah pelukan terakhir. Seketika aku menyesali suatu keadaan dimana aku harus mengabdikan diri ke masyarakat dan kehilangan kesempatan mengabdikan diri kepada wanita yang telah 20 tahun merawatku, mendidikku, membimbingku dan memberikanku kasih sayang. Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya cucu diantara 16 cucu lainnya yang sama sekali tidak hadir menjenguk saat mbah uti di opname. Aku membayangkan betapa durhakanya aku. Mbah Uti selalu hadir di setiap masa sulitku, dan bahkan hingga beliau menemui ajalnya, aku tidak pernah sekalipun datang ke rumah sakit. 

Seketika aku membenci kewajiban KKN. Aku menyesali mengapa harus mengambil periode sekarang. Aku menyesali tidak adanya ucapan selamat tinggal antara aku dan mbah uti. But if it's meant to be, no one can mess it up. Mbah Uti telah menutup ramadhan ini dengan tutup usia. Selamat jalan my the most inspiring woman all over the world. Jasadmu mungkin telah menyatu dengan tanah, namun semua ajaranmu tentang hidup, semua kesabaranmu, semua keindahan tutur & perilakumu, tidak akan pernah kami lupakan. Terima kasih mbah, telah menjadi wanita terhebat di dunia. 

Mbah uti...
Sesekali datang ke mimpi Devita ya mbah. Dunia banyak berubah. Banyak yang mau eneng ceritain mbah. Mbah, kalau di alam sana mbah uti ketemu mbah kakung, sampaikan salam dari kami ya mbah. Selesai KKN, Devita akan pulang ke Jakarta, tidur di kamar mbah, dan bercerita seperti biasa. Oiya mbah, tanaman mbah uti yang di depan rumah sekarang pasti udah tumbuh besar. 2014 Devita wisuda. Kalau mbah uti nggak bisa datang, liat dari atas sana ya mbah. Oiya mbah, waktu Devita pulang dari Bangkok belum sempet cerita-cerita kan sama mbah uti. Nanti Devita bikinin satu cerita, mbah uti baca dari sana ya. I love you, mbah uti. I do love you as much as I can...