Kuliah Kerja Nyata atau yang biasa disebut KKN dapat menarik persepsi banyak orang. Ada yang memandang sebagai kewajiban karena memang di kampus saya memang KKN merupakan syarat wajib sebelum lulus, ada lagi yang memandang sebagai ajang pengabdian, bahkan tak jarang ada yang memandang sebagai ajang pencarian cinta baru. Terlepas dari berbagai pandangan tersebut, bagi saya KKN merupakan ajang menemukan keluarga baru. Bagaimana tidak, kami tinggal satu rumah, menyamakan visi misi, menjalankan berbagai program bersama, makan bersama, tidur bersama, dan melakukan berbagai hal bersama.
Bagi saya pribadi ini masih menjadi hal yang baru. Beradaptasi dengan puluhan orang baru mungkin bukanlah hal yang mudah. Namun ketika kami tinggal satu rumah, berbagai kejadian lucu hingga menyebalkan selalu kami alami. Kami yang beberapa bulan lalu tidak saling mengenal, kini bahkan hafal suara langkah masing-masing. Siapa yang mandinya paling lama, yang makannya paling sedikit, sampai yang tidurnya paling susah dibangunkan.
Satu minggu pertama menjalani KKN bagi saya merupakan hal yang tidak akan pernah terlupakan. Datang ke pengajian, ikut rapat PKK, hingga bermain voli bersama warga menjadi sebuah pengalaman yang sungguh tak terlupakan meskipun sering bikin ngantuk. Terlepas dari kewajiban mengabdi pada warga, atau apapun pengertian dari KKN itu, saya sudah menemukan keluarga baru yang solid, yang mungkin tak bisa digantikan oleh apapun. Tim solid bagi saya adalah hal mahal yang tidak akan pernah bisa dibayar dengan apapun.
Tujuh minggu masih menunggu untuk dijalankan dengan berbagai program. Dari Desa Panawangan, Ciamis, Jawa Barat, selamat KKN untuk semua mahasiswa UGM dari ujung barat hingga timur Indonesia. Semoga bisa berguna bagi masyarakat. Selamat mengabdi!
Senin, 08 Juli 2013
Kamis, 20 Juni 2013
Rumah Penuh Makna
Bagi saya, waktu bergulir sangat cepat sekali. Entah karena saya terlalu menikmati setiap jengkal kebahagiaan di hidup ini, atau karena memang waktu yang memiliki kecepatan lebih. Rasanya masih kemarin kami sama-sama kecil. Rasanya masih kemarin perayaan wisuda digelar bergiliran. Rasanya masih kemarin kita rutin melepas peluk di hari raya. Rasanya masih kemarin kita menikmati cuaca dingin pedesaan, bersama-sama, dan penuh dengan uraian tawa.
Kemudian waktu terbang mengudara, membawa kami semua ke dimensi berbeda. Tawa itu masih tetap ada, meski hanya menyisakan sisa. Sungguh, suatu achievement yang sangat berarti bisa menjadi bagian dari kalian. Kita semua berlomba, menghiasi dinding rumah sederhana itu dengan foto bertoga. Kita semua berlomba, menceritakan pencapaian yang kita dapat di tanah rantau.
Di setiap hari raya, kita berkumpul di rumah sederhana di pedesaan yang masih terpencil. Kami menyebutnya rumah aki, rumah kakek moyang kami. Aktivitas kami selalu sama dari tahun ke tahun. Berbincang hangat di ruang tamu. Berebut tidur dengan kasur yang sengaja kami gelar di ruang televisi. Di siang hari, anak tangga dari tanah itu kami susuri, menuju kolam milik aki dan kemudian memancing bersama. Aku bagian mengorek tanah, mencari cacing-cacing hidup untuk dijadikan umpan. Kemudian salah satu dari kita, karena tidak sabar, memilih mengambil roti untuk umpannya.
Di hari kedua lebaran, rumah aki selalu penuh dengan sanak keluarga lain yang datang. Maka kami akan otomatis masuk ke dalam kamar, berdesakan, bercerita penuh canda, dan biasanya akan dengan sendirinya dibubarkan oleh suara buang gas. Di sisa hari, kami mambabat habis tempat-tempat wisata terdekat. Dulu, jok mobil belakang masih muat ditempati 4 orang. Mungkin kini sudah tidak bisa.
Jika waktu berlibur habis, kami bersiap kembali ke kota masing-masing. Maka saat itu, aki dan emih akan duduk di bangku depan rumah dengan tatapan parau. Ketika mesin mobil sudah mulai menyala, matanya hampir berair. Di sela kami memasukkan barang ke mobil, dengan sendu aki dan emih akan berkata, "Mau kemana? Disini aja". Meski mereka tau itu tidak mungkin.
Maka ketika mobil perlahan bergerak menyusuri jalanan pedesaan, tatapan mereka semakin kosong. Mungkin merindukan tawa kami yang senantiasa meramaikan rumah di malam hari. Kini, semua masih sama. Rumah itu, penghuninya, dan rasa rindu yang dirasakan setelah lama tak bersua. Kini, rumah semakin diramaikan dengan tangis lucu generasi keempat keluarga kami. Anak salah satu dari kami. Ya, kami yang dulu masih sama-sama kecil dan bermain layang-layang bersama kini harus melepas masa lajang satu per satu setelah menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab pada orang tua.
Pada akhirnya, rumah kecil mungil itu tetap menjadi sesuatu yang tak bisa lepas dari ingatan kami. Meski mungkin sudah tidak serutin itu kami sambangi. Meski mungkin ada kehangatan baru yang berbeda di dalamnya. Meski masing-masing dari kami mulai membangun kehidupan baru. Meski masing-masing dari kami mulai sibuk mengejar karier dan sisa-sisa mimpi yang ada. Namun percayalah, telepon di rumah itu selalu ingin berdering, karena penghuninya selalu ingin tau kabar dari kami.
Untuk aki dan emih, terima kasih sudah menjadi dua malaikat bagi kami. Terima kasih telah melahirkan anak-anak hebat yang mampu mendidik kami dengan baik. Terima kasih telah menorehkan sejarah dalam hidup kami. Terima kasih telah selalu setia di rumah mungil itu, menanti kedatangan kami satu per satu. Suatu saat, kami memang akan pergi, melalang buana mencari arti hidup. Tapi percayalah, suatu saat pula kami akan kembali ke rumah penuh makna itu, memandangi dinding dan kaca yang memuat foto kami, dan melayangkan ingatan pada masa lampau. Karena sesungguhnya, di rumah penuh makna itu kami bisa menjadi apa yang kami inginkan. Aki, emih, eneng rindu. Salam sungkem dari eneng di Jogja. I love you both!
Jumat, 07 Juni 2013
MATIIN HP-NYA PLIIISSSS!
Indonesia lagi digegerkan sama kasus penumpang Sriwijaya Air yang melakukan pemukulan terhadap pramugari. Kasusnya klasik, pramugari mengingatkan untuk mematikan telepon genggam karena pesawat sudah siap untuk lepas landas.
Sesuai peraturan yang saya tau, mematikan telepon genggam diwajibkan ketika penumpang mulai boarding. Kenyataannya? Dalam setiap penerbangan, saya selalu menemukan penumpang yang bahkan di dalam pesawat masih asyik memainkan telepon genggamnya. Ketika pramugari sibuk merapikan barang di kabin, masih ada penumpang yang asyik bertelepon ria.
Peraturan dunia penerbangan untuk mematikan semua alat elektronik yang memiliki signal ketika di dalam pesawat tentu bukan tanpa alasan. Sinyal akan mengganggu sistem navigasi pesawat, yang bahkan bisa mencelakakan pesawat. Pesawat jelas berbeda sistem mengendarainya dengan kendaraan lain seperti mobil. Jika mobil mengandalkan pengelihatan supir, pesawat sudah pasti mengandalkan sistem navigasi. Anehnya, demi keselamatan diri sendiri aja, penumpang masih banyak yang bertindak bodoh.
Semua penerbangan, dari apapun maskapainya, selalu tak pernah berhenti diingatkan untuk mematikan telepon genggam. Saya sendiri sering makan ati karena kelakuan para penumpang yang menurut saya tolol. Kejadian pertama adalah penerbangan Jakarta-Jogja. Saya langganan pesawat first flight, jadi harus berangkat dari rumah jam 3 pagi. Jam setengah 6, kami sudah boarding. Begitu pesawat mau take-off, penumpang di seberang saya asyik telfonan. Bapak di sebelah saya kemudian menegur. Eh, bukannya malu dia malah jawab "Kalau saya di Jogja ga ada yang jemput, bapak mau tanggung jawab?" Kontan bapak di sebelah saya langsung jawab, "Eh, kalo gara-gara sinyalmu itu sepesawat mati, kamu mau tanggung jawab?" Keliatan malu, dia diam.
Pengalaman gak enak juga pernah saya rasakan saat penerbangan dari Lombok ke Jakarta, dan dari Semarang ke Jakarta. Saya dibikin keki sama penumpang yang masih asyiiiikkkk aja bbm an padahal pesawat tinggal lepas landas. Ampun deh, itu otak lagi nggak berfungsi apa gimana! Setelah menyimpan gondok berjam-jam di pesawat, begitu pesawat siap mendarat saya balik gondok lagi. Berkali-kali udah diingatkan kalo telepon genggam baru boleh dinyalakan di dalam bandara, ini pesawat baru mau landing udah banyak handphone yang bunyi. Sambil menunggu keluar pesawat, mereka asyik aja dong bbm-an gitu. Duh, segitu susahnya yaa ngga megang hp dalam beberapa jam doang? :s
Bagi saya, insiden pemukulan yang dilakukan pejabat kepada pramugari Sriwijaya Air seharusnya dijadikan pembelajaran bagi para penumpang pesawat yang hobinya bbm-an di udara. Pramugari, atau bahkan penumpang lain sangat berhak menegur penumpang yang memainkan telepon genggamnya di udara. Satu saja gangguan signal, yang akan terganggu satu pesawat. Mbok ya kalau mau mati jangan ajak-ajak orang se-pesawat toh!
Intinya, jadilah penumpang yang smart (bukan hanya pengguna smartphone) dan bijak dalam bertindak. Seriously, mematikan hp beberapa jam aja nggak bikin kamu mati kok. Yang bisa bikin kamu mati itu ya memainkan hp di pesawat. So, matiin hp-nya plissss!
Sesuai peraturan yang saya tau, mematikan telepon genggam diwajibkan ketika penumpang mulai boarding. Kenyataannya? Dalam setiap penerbangan, saya selalu menemukan penumpang yang bahkan di dalam pesawat masih asyik memainkan telepon genggamnya. Ketika pramugari sibuk merapikan barang di kabin, masih ada penumpang yang asyik bertelepon ria.
Peraturan dunia penerbangan untuk mematikan semua alat elektronik yang memiliki signal ketika di dalam pesawat tentu bukan tanpa alasan. Sinyal akan mengganggu sistem navigasi pesawat, yang bahkan bisa mencelakakan pesawat. Pesawat jelas berbeda sistem mengendarainya dengan kendaraan lain seperti mobil. Jika mobil mengandalkan pengelihatan supir, pesawat sudah pasti mengandalkan sistem navigasi. Anehnya, demi keselamatan diri sendiri aja, penumpang masih banyak yang bertindak bodoh.
Semua penerbangan, dari apapun maskapainya, selalu tak pernah berhenti diingatkan untuk mematikan telepon genggam. Saya sendiri sering makan ati karena kelakuan para penumpang yang menurut saya tolol. Kejadian pertama adalah penerbangan Jakarta-Jogja. Saya langganan pesawat first flight, jadi harus berangkat dari rumah jam 3 pagi. Jam setengah 6, kami sudah boarding. Begitu pesawat mau take-off, penumpang di seberang saya asyik telfonan. Bapak di sebelah saya kemudian menegur. Eh, bukannya malu dia malah jawab "Kalau saya di Jogja ga ada yang jemput, bapak mau tanggung jawab?" Kontan bapak di sebelah saya langsung jawab, "Eh, kalo gara-gara sinyalmu itu sepesawat mati, kamu mau tanggung jawab?" Keliatan malu, dia diam.
Pengalaman gak enak juga pernah saya rasakan saat penerbangan dari Lombok ke Jakarta, dan dari Semarang ke Jakarta. Saya dibikin keki sama penumpang yang masih asyiiiikkkk aja bbm an padahal pesawat tinggal lepas landas. Ampun deh, itu otak lagi nggak berfungsi apa gimana! Setelah menyimpan gondok berjam-jam di pesawat, begitu pesawat siap mendarat saya balik gondok lagi. Berkali-kali udah diingatkan kalo telepon genggam baru boleh dinyalakan di dalam bandara, ini pesawat baru mau landing udah banyak handphone yang bunyi. Sambil menunggu keluar pesawat, mereka asyik aja dong bbm-an gitu. Duh, segitu susahnya yaa ngga megang hp dalam beberapa jam doang? :s
Bagi saya, insiden pemukulan yang dilakukan pejabat kepada pramugari Sriwijaya Air seharusnya dijadikan pembelajaran bagi para penumpang pesawat yang hobinya bbm-an di udara. Pramugari, atau bahkan penumpang lain sangat berhak menegur penumpang yang memainkan telepon genggamnya di udara. Satu saja gangguan signal, yang akan terganggu satu pesawat. Mbok ya kalau mau mati jangan ajak-ajak orang se-pesawat toh!
Intinya, jadilah penumpang yang smart (bukan hanya pengguna smartphone) dan bijak dalam bertindak. Seriously, mematikan hp beberapa jam aja nggak bikin kamu mati kok. Yang bisa bikin kamu mati itu ya memainkan hp di pesawat. So, matiin hp-nya plissss!
Jumat, 31 Mei 2013
The busiest semester ever!
I hate being busy, but I hate being "don't-know-what-to-do" more and more!
Sibuk itu terkadang emang nyebelin. I felt it in my sixth semester. Setiap bangun pagi, di kepala udah tersusun dan terjadwal what I have to do for today. Berawal dari ngambil mata kuliah jurnalisme penyiaran, saya ngga tau bahwa mata kuliah itu mewajibkan mahasiswanya magang. Karena udah terlanjur masuk, jadilah saya berusaha mencari-cari tempat magang. Pilihan jatuh pada RRI (Radio Republik Indonesia).
Singkat kata, di pertengahan Maret saya mulai magang di RRI. Saat itu langsung ditempatkan sebagai reporter divisi olahraga. Hey, it's not my thing for being a reporter. Secara jurnalisme itu bukan konsentrasi saya di kuliah, dan matkul Jurnalisme Penyiaran itu hanyalah matkul pilihan buat saya. Di hari pertama, saya udah ditantang aja bikin straight news, dilanjut fox pop tentang Kongres Luar Biasa-nya PSSI. Hari kedua, ada liputan DBL, event basket terbesar di Jogja yang merupakan acara tahunan.
Di awal magang, saya dapet tawaran lagi sebagai penulis salah satu website dengan konten traveling & kuliner. Wohooooo, I was excited! Walaupun gaji yang ditawarkan cuma setengah dari uang bulanan saya, tapi karena traveling & kuliner adalah dua hal paling favorite buat saya, akhirnya saya mengambil job itu. Fix, sehari lima artikel untuk kuliner & traveling. Hari-hari saya selanjutnya pantas disebut sebagai "hectic day". Bangun setiap pagi, membuat to-do-list, kuliah, ngantor, liputan, nugas, dan menyelesaikan lima artikel tersebut.
What I feel in the beginning? Tired, indeed! Setiap hari saya selalu ngerasa kurang tidur. Sekalinya tidur jadi nggak nyenyak karena banyak pikiran. Ditambah lagi, saat itu tim KKN masih 7 orang, dan harus bekerja ekstra keras. Hampir setiap hari saya mengeluh, ngerasa capek, dan hampir memutuskan melepas pekerjaan menulis artikel. Saya juga ngerasa 24 jam dalam sehari sama sekali nggak cukup. Belum lagi rasa bersalah karena ngelarang orang tua saya ke Jogja, karena kalaupun mereka ke Jogja, nggak akan ada waktu buat nemenin jalan-jalan.
Di tanggal 11 April, angin surga berhembus. Setelah minta izin sama redaktur di kantor, saya dan teman-teman KKN berangkat ke Ciamis, untuk riset yang kedua. Dengan berbekal konsep yang matang, ajang riset tersebut juga saya gunakan sebagai "refreshing", menghirup udara pedesaan yang segar, kehidupan yang tidak menjenuhkan, dan pastinya bisa tidur dengan nyenyak. Empat hari riset, cukup menjadi ajang beristirahat buat saya.
Back to reality, di bulan April saya justru mulai enjoy dan terbiasa dengan semuanya. Saya sudah terbiasa meliput, memberikan laporan by phone, menulis lima artikel dalam beberapa jam saja, dan over all saya mulai menikmati semuanya. Saya mulai menikmati pergi pagi pulang malam, membuka laptop, dan menyelesaikan artikel saya. Walaupun capek, tapi mulai terbiasa dan akhirnya nggak ngerasa lagi ini sebagai beban yang berat.
Tapi semesta nampaknya masih belum membiarkan saya hidup di zona nyaman. Di pertengahn April, saya dipindah ke redaksi news. Saya kehabisan tenaga, energi, dan spirit. Meliput ujian nasional bahkan ikut di rapat paripurna anggota DPR jelas bukan saya banget. Untungnya itu semua cuma setengah bulan, dan dengan terseok-seok bisa terlewati juga.
Saya kemudian semakin percaya Allah telah mengatur semuanya. Tahun lalu, saya mendapatkan tiket promo ke Bangkok, dan tanpa pikir panjang saya membelinya untuk penerbangan bulan Mei. Bulan April magang saya selesai, dan pertengahan Mei saya liburan. Yeeeaayy! Pulang liburan, saya mulai lagi disibukkan persiapan KKN, pengabdian pada masyarakat yang mungkin hanya sekali seumur hidup. Saya juga udah nggak jadi penulis lagi, karena KKN butuh perhatian yang lebih ekstra. Lagian kalau masalah kerjaan kan bisa dicari lagi setelah KKN. Beberapa menit sebelum artikel ini ditulis, akan memasuki bulan Juni, bulannya UAS dan bulan terakhir persiapan KKN. Bulan yang mungkin lebih sibuk dari bulan April dan Mei. I wish nothing but the best for JBR 02!
Btw, sibuk itu emang nyebelin, apalagi ketika bener-bener nggak punya waktu me-time. Tapi percaya deh, bingung karena nggak ada yang harus dikerjakan jauuuuhhh lebih nyebelin. So, bersyukurlah bisa sibuk :)
Langganan:
Postingan (Atom)