Selasa, 29 Maret 2011

(bukan) KITA

Bukankah kita dulu pernah menaruh harap?
Bukankah dulu pernah ada cerita tentang semuanya?
Bukankah dulu bauran tangis itu pernah bersatu dengan tawa?
Bukankah senyuman itu tidak terhitung jumlahnya?

Seperti layaknya kehidupan normal, semua membaur. Kita pernah memperkenalkan tangis pada tawa. Kita pernah menjodohkan bahagia dengan derita. Dulu, 6 tahun lalu, saat sudah tidak ada lagi kata Aku, dan Kamu. Yang ada hanya KITA.

Di taman kecil itu, dengan gedung megah berwarna abu-abu, berkali-kali aku bercuri-curi pandang denganmu. Rok biru dan baju kemeja putih hingga detik ini menjadi saksinya. Di deretan meja dan bangku kayu yang sudah tua, aku menyimpan jutaan rasa deg-degan, penasaran yang tak lagi dapat kupendam. Jantungku terasa melompat, panas dingin dengan berbagai kesulitan mengungkapkan semuanya.

Cintakah ini?
Tapi apa arti cinta bagi gadis berusia 12 tahun pada waktu itu? Sepenggal rasa berbeda, rasa tidak biasa kepada lawan jenis, atau hanya rasa sementara yang dipastikan hilang terbawa angin malam. Aku, kamu, sudah tidak bisa dibilang KITA.

Sudah enam tahun kau tidak menyapa mimpiku. Sudah 6 tahun sejak jalan dihadapan kita terbelah dua. Aku ke kanan, kamu ke kiri. Sudah enam tahun aku tidak mendengar tawa khas di gagang telepon. Sudah enam tahun rasa itu dibawa angin entah kemana.

Boy, sudah enam tahun rindu ini terkumpul. Sudah enam tahun sejak semuanya hancur, wajahmu seperti puzzle di otakku. Puzzle yang tidak beraturan, sulit ditebak, dan hampur tidak mungkin lagi dibentuk. Aku tetap aku. Aku saat pertama kali kau genggam tanganku di sepanjang jalan itu. Jalan itu, aku masih ingat!

Hingga terlalu banyak mereka yang datang dan pergi. Aku tak sanggup menolak. Ah, mereka bilang percintaan kita hanya cinta monyet boy! Tapi mengapa aku selalu merindumu? Mengapa kau masih menjadi tolak ukur semuanya? Bukankah sejak 6 tahun lalu engkau memutuskan pergi dan tak kembali? Dan kau benar! Sejak 6 tahun lalu, kau tidak pernah kembali. Tabungan harapku sudah penuh boy! Namamu di buku diary-ku sudah tak terhitung boy! Lantas masih harus adakah ego itu untuk kau tetap pergi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar